adf.ly

Rabu, 29 Juni 2011

SKRIPSI SISTEM PAKAR PENYUSUNAN DIET DIABETES TIPE II

(KODE : INFORMAT-0041) : SKRIPSI SISTEM PAKAR PENYUSUNAN DIET DIABETES TIPE II




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit metabolisme tubuh yang berkaitan dengan kerusakan insulin, aktivitas insulin, atau keduanya dengan nilai gula darah meningkat (hiperglikemia) [PER06]. Penyakit ini merupakan penyakit mematikan dan tidak dapat disembuhkan. Satu dari sepuluh kematian orang dewasa antara usia 35 sampai dengan 64 tahun disebabkan oleh diabetes mellitus [IDF03]. Di Indonesia, diabetes mellitus menjadi penyebab tiga persen kematian penduduk per tahun [WHO06]. Jumlah penderita penyakit ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, jumlah penderita di seluruh dunia mencapai 171 milyar dan diperkirakan pada tahun 2030 dapat mencapai 366 milyar [WIL04]. Menurut data Poliklinik Diabetes seluruh Indonesia, terdapat minimal 2.500.000 penderita di Indonesia pada tahun 1991 [TJO00]. Peningkatan jumlah ini karena pertumbuhan masyarakat yang tinggi, peningkatan obesitas, diet yang tidak sehat, dan gaya hidup sekunder [IDF03].
Diabetes mellitus dapat dibedakan menjadi dua tipe jika ditinjau dari fungsionalitas insulin, yaitu: [ADA07]
1. Diabetes tipe I
Diabetes tipe I terjadi karena kerusakan pankreas dalam menghasilkan insulin. Diabetes ini lebih banyak terjadi pada anak-anak kecil [ADA07]. Sepuluh persen dari kasus diabetes adalah diabetes tipe I [WIL00]. Penyakit ini dapat dikendalikan dengan terapi insulin dan penerapan diet. Namun, terapi insulin merupakan pengelolaan utama pada diabetes tipe ini [WIL00].
2. Diabetes tipe II
Pada diabetes tipe ini, penderita mampu menghasilkan insulin, tetapi insulin yang dihasilkan tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya di dalam tubuh. Sembilan puluh persen penderita diabetes mellitus termasuk ke dalam tipe ini [WIL00]. Pengelolaan utama diabetes tipe II dilakukan dengan menerapkan diet dengan nutrisi yang tepat.
Pada tugas akhir ini selanjutnya dibahas mengenai penyusunan diet untuk diabetes tipe II karena:
1. Kasus diabetes tipe II lebih banyak terjadi daripada diabetes tipe I.
2. Penerapan diet pada diabetes tipe II merupakan metode pengelolaan utama dalam menangani penyakit ini.
Diet merupakan pondasi dasar dalam pengelolaan diabetes mellitus karena bermanfaat untuk menjaga kestabilan tingkat gula darah penderita diabetes mellitus [SUW07]. Namun, penyusunan diet dengan komposisi nutrisi yang tepat secara manual oleh penderita menyusahkan, memakan waktu, dan memerlukan pengetahuan pakar. Pakar tersedia, tetapi untuk dapat menemui pakar memerlukan banyak waktu, biaya, dan melalui prosedur administrasi yang panjang. Penentuan jenis diet yang tepat bagi seorang penderita diabetes tipe II juga sulit dilakukan, karena penentuan tersebut bergantung kondisi masing-masing penderita dan harus mempunyai nutrisi yang tepat.
Sistem pakar adalah program komputer yang mempunyai basis pengetahuan dari seorang atau beberapa pakar yang digunakan untuk memberikan saran atau memecahkan masalah [JAC99].
Sistem pakar diabetes yang ada antara lain:
1. DIABETES, dikembangkan oleh Jiang Ming-Yan dan Chen Zhi Jian dan digunakan untuk melakukan diagnosis, perawatan, dan pengajaran diabetes [ZHI97].
2. DFS {Diabetes Forecast System), dikembangkan oleh Universitas Maryland yang digunakan untuk melakukan ramalan gula darah penderita diabetes tipe I berdasarkan atas pembacaan diet, jadwal olahraga, dan dosis insulin terakhir [DFS01].
3. ESDIABETES, dikembangkan oleh alumni Texas A&M Univeristy Corpus Christi digunakan untuk memonitor dan mengontrol tingkat gula darah pada penderita diabetes [ESD01].
Detil dari ketiga sistem pakar ini dapat dilihat pada lampiran A.
Sedangkan sistem pakar diabetes untuk penyusunan diet diabetes tipe II belum ada. Pada tugas akhir ini, dibangun sistem pakar penyusunan diet diabetes tipe II yang diharapkan mampu mempermudah dan memberikan solusi alternatif bagi penderita diabetes dalam memperoleh saran diet yang tepat.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada tugas akhir ini adalah membangun sistem pakar yang mampu memberikan saran diet diabetes tipe II yang tepat.

1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan tugas akhir ini adalah:
1. Memahami dan mempelajari sistem pakar
2. Membangun sistem pakar untuk memperoleh saran diet diabetes tipe II yang tepat berdasarkan kondisi penderita diabetes

1.4 Batasan Masalah
Beberapa batasan masalah dalam pelaksanaan tugas akhir ini adalah :
1. Komplikasi yang ditangani hanya kolesterol tinggi, asam urat, dan hipertensi
2. Pemberian insulin pada pasien tidak dipertimbangkan
3. Penyusunan diet untuk pasien yang sedang sadar dan pasien yang tidak sedang berpuasa
4. Penyusunan diet terbatas pada pengaturan bahan makanan diet B dan diet Bl

1.5 Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam pelaksanaan tugas akhir ini adalah:
1. Eksplorasi dan studi literatur dilakukan dengan melakukan studi mengenai sistem pakar, kakas yang akan digunakan, dan penyakit diabetes mellitus melalui literatur-literatur seperti buku {textbook), jurnal, dan sumber ilmiah lain seperti halaman web, artikel, dan dokumen teks yang berhubungan.
2. Akuisisi pengetahuan dilakukan dengan cara wawancara kepada pakar dan melakukan observasi.
3. Analisis sistem pakar dengan melakukan analisis terhadap sistem pakar berupa studi kelayakan, spesifikasi kebutuhan, teknik akuisisi pengetahuan, dan penentuan pakar.
4. Perancangan sistem pakar yang akan dikembangkan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, termasuk akuisisi pengetahuan untuk mendapatkan rancangan pengetahuan.
5. Implementasi sistem pakar dengan menuliskan rule ke dalam bahasa CLIPS (C Language Integrated Production System) dan membuat antarmuka berbasis web dengan bahasa php.
6. Pengujian sistem pakar, yaitu melakukan pengujian hasil implementasi sistem pakar dan basis pengetahuan.

1.6 Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan laporan tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
1. Bab I Pendahuluan, berisi penjelasan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan metodologi pelaksanaan tugas akhir.
2. Bab II Landasan Teori, berisi dasar teori yang digunakan dalam pelaksanaan tugas akhir. Secara garis besar membahas mengenai teori tentang sistem pakar, metode pemecahan masalah, skeletal construction, propose and revise, shell sistem pakar berbasis rule, dan gambaran umum penyusunan diet diabetes mellitus tipe II.
3. Bab III Analisis Masalah dan Perancangan, berisi analisis masalah dan perancangan perangkat lunak untuk pembangunan sistem pakar beserta tahapan-tahapan yang dilalui. Tahapan yang dilalui adalah perencanaan pengembangan, defmisi pengetahuan, perancangan pengetahuan, perancangan aplikasi, koding dan pengujian, verifikasi pengetahuan, dan evaluasi hasil.
4. Bab IV Implementasi dan Pengujian, berisi implementasi sistem pakar hasil perancangan dan pengujian. Pembahasan implementasi sistem pakar meliputi lingkungan implementasi, hasil implementasi skeletal construction pada CLIPS, dan hasil implementasi aplikasi. Pengujian membahas tentang tujuan pengujian dan skenario pengujian serta hasil pengujian.
5. Bab V Penutup, berisi kesimpulan dan saran yang didapatkan selama pelaksanaan tugas akhir.

SKRIPSI PERANCANGAN APLIKASI EDUCATION GAME UNTUK PENGAJARAN BAHASA INGGRIS PADA ANAK-ANAK

(KODE : INFORMAT-0040) : SKRIPSI PERANCANGAN APLIKASI EDUCATION GAME UNTUK PENGAJARAN BAHASA INGGRIS PADA ANAK-ANAK




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi dan persaingan yang semakin ketat, menuntut kita agar dapat menguasai Bahasa Inggris yang merupakan Bahasa Internasional. Oleh karena itu, pendidikan Bahasa Inggris perlu diperkenalkan pada anak-anak sejak dini. Namun, pada umumnya anak-anak mengalami kesulitan dalam mempelajari bahasa asing, termasuk Bahasa Inggris. Menurut Diba Artsiyanti E.P., S.S. (2002), kesulitan anak dalam mempelajari Bahasa Inggris disebabkan karena Bahasa Inggris bukan merupakan bahasa mereka, sehingga mereka tidak terbiasa mendengar atau mengucapkan pelafalan dalam Bahasa Inggris. Selain itu kecenderungan pola belajar anak yang lebih suka bermain juga sangat mempengaruhi, sehingga pembelajaran secara teoritis saja kurang optimal untuk pembelajaran Bahasa Inggris pada anak. Atas dasar itulah penulis memilih mengangkat permasalahan tentang perancangan aplikasi education game untuk membantu mempermudah pengajaran Bahasa Inggris. Aplikasi ini diharapkan mampu menerapkan sistem Belajar sambiI Bermain yang sangat efektif untuk proses pembelajaran bagi anak-anak
Education game merupakan salah satu bentuk Pembelajaran Berbantuan Komputer {Computer Aided Instruction). Pembelajaran Berbantuan Komputer telah banyak diterapkan di sekolah-sekolah. Hal itu disebabkan karena perkembangan yang cukup pesat di bidang Teknologi Informasi. Sistem Pembelajaran Berbantuan Komputer dirancang berbasis mutimedia yang menggabungkan unsur-unsur visual, audio, dan video sehingga menjadikannya sangat interaktif.
Penulis telah mengamati dua penelitian sejenis yang sudah ada sebelumnya. Nugroho, Kurniawan Yudhi (2007) dalam penelitiannya memfokuskan pembelajaran pada vocabulary (tidak membahas tentang grammar) dan menggabungkan unsur gambar, latihan dan kuisioner dalam aplikasinya. Jen, Shirley Ling (2004) dalam penelitiannya menerapkan pembelajaran meliputi vocabulary dan grammar yang lebih kompleks dalam aplikasinya. Dia juga menerapkan sistem pra-game (tahap pengenalan sebelum user memulai game) dan post-game (tahap kesimpulan setelah user menggunakan game). Sedangkan aplikasi education game ini dirancang penulis sebagai salah satu sarana pembelajaran Bahasa Inggris tingkat dasar meliputi penggunaan vocabulary dan grammar sederhana yang menggunakan konsep multimedia. Perbandingan ketiganya terletak pada pada batasan materi pembelajaran bahasa Inggris dan sistem aplikasi.
Aplikasi ini dibuat dengan menggunakan perangkat lunak Macromedia Flash serta perangkat lunak lain seperti Adobe Photoshop. Macromedia Flash adalah perangkat lunak yang terkenal sangat baik dalam pembuatan aplikasi multimedia karena didukung oleh tool-tool dan scripting untuk multimedia. Dalam perancangannya, aplikasi education game ini mempertimbangkan aspek-aspek kriteria game dan persyaratan pengguna (user requirement) pembangunan suatu perangkat lunak agar menghasilkan aplikasi yang baik dan sesuai tujuan.
Penulis membatasi rentang (range) usia target user pada usia 5-10 tahun. Pertimbangan penulis menentukan rentang usia yaitu berdasarkan tingkat pemahaman dan latar belakang pendidikan yang berbeda pada setiap anak. Ada sebagian anak yang pada usia balita telah dikenalkan dengan pembelajaran Bahasa Inggris sedangkan sebagian anak ada yang baru mendapat pembelajaran Bahasa Inggris pada saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Aplikasi ini juga dirancang tidak hanya sebagai sarana pembelajaran yang dapat digunakan oleh para pengajar, tetapi juga dapat digunakan secara pribadi oleh pengguna. Hal ini diharapkan dapat membantu anak-anak dalam pembelajaran secara mandiri.

1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat penulis yaitu bagaimana merancang aplikasi education game berbasis multimedia yang interaktif dan difokuskan pada pembelajaran Bahasa Inggris sebagai pengenalan dasar bagi anak-anak.

1.3 Batasan Masalah
Dalam perancangan aplikasi ini penulis memberikan batasan-batasan masalah sebagai berikut:
1. Aplikasi education game ini mencakup pengajaran dasar Bahasa Inggris meliputi penggunaan vocabulary dan grammar sederhana
2. Aplikasi ini dikhususkan bagi anak-anak dengan usia 5-10 tahun.
3. Karena dikhususkan bagi anak-anak, game ini dirancang menampilkan game-game sederhana dalam arti memiliki desain antar muka yang user friendly dan aturan permainan yang tidak terlalu rumit.
4. Aplikasi ini hanya menyediakan pilihan game dan latihan, sedangkan materi pembelajaran secara mendetail tidak disajikan.

1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian perancangan aplikasi education game ini yaitu agar aplikasi ini dapat diterapkan sebagai sarana pengajaran Bahasa Inggris yang praktis baik dengan atau tanpa guru.

1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai alat bantu dalam pengajaran Bahasa Inggris ataupun digunakan secara mandiri (tanpa guru) oleh anak karena perancangan aplikasi yang praktis dan user friendly, serta membuat belajar Bahasa Inggris terasa lebih menyenangkan dan tidak membosankan bagi anak karena dirancang dalam bentuk game.

1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah Model Air Terjun (Waterfall). Tahap-tahap yang digunakan dalam metode pnelitian ini yaitu:
1. Requirements analysis and definition
Mengumpulkan apa yang dibutuhkan untuk membangun aplikasi secara lengkap kemudian dianalisis.
2. System and software design
Setelah apa yang dibutuhkan selesai dikumpulkan maka dibuat perancangan untuk aplikasi education game yang dibuat.
3. Implementation and unit testing
Pada tahap ini dilakukan pengimplementasian menggunakan bahasa pemrograman Action Script 2.0 kemudian dilakukan pengujian apakah sudah bekerja dengan baik.
4. Integration and system testing
Pengujian dilakukan untuk mengetahui sejauh mana sistem berjalan, aplikasi harus sesuai dengan criteria education game dan persyaratan pengguna perangkat lunak. Selanjutnya, aplikasi diujikan kepada beberapa responden untuk menilai apakah sistem sudah berjalan dengan baik dan sesuai denggan perancanaan.
5. Operation and maintenance
Mengoperasikan program, melakukan pemeliharaan dan perbaikan yang diperlukan.

1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab, masing-masing bab diuraikan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisi penjelasan Pembelajaran Berbantuan Komputer (Computer Aided Instruction), multimedia, Education Game, Macromedia Flash Professional 8, dan metode pengajaran bahasa Inggris pada anak.
BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN
Bab ini membahas analisis perancangan aplikasi Education Game yang meliputi Diagram Pohon, Diagram Aliran Data, Flowchart, dan storyboard.
BAB IV IMPLEMENTASI
Bab ini menjelaskan bagaimana perancangan yang telah dibangun pada bab III diimplementasikan dengan perangkat lunak Macromedia Flash Professional yang menggunakan ActionScript 2.0 sebagai bahasa pemrogramannya.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan-kesimpulan dari bab-bab sebelumnya, dan saran-saran yang coba disampaikan penulis guna melengkapi dan menyempurnakan perancangan aplikasi Education Game untuk masa yang akan datang.

SKRIPSI BALANCED SCORECARD UNTUK PENGUKURAN PERFORMANSI KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM DI PERUSAHAAN

(KODE : INFORMAT-0039) : SKRIPSI BALANCED SCORECARD UNTUK PENGUKURAN PERFORMANSI KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM DI PERUSAHAAN




BAB I
PENDAHULUAN

Bab ini berisi gambaran umum mengenai pelaksanaan tugas akhir. Gambaran umum ini meliputi latar belakang mengapa topik ini diambil sebagai judul tugas akhir, rumusan masalah yang dikaji, tujuan tugas akhir ini, batasan masalah, metodologi yang digunakan, dan sistematika pembahasan.

1.1 Latar Belakang
Di era globalisasi yang ditunjang oleh perkembangan teknologi yang pesat, inovasi tiada henti, dan perkembangan pengetahuan menuntut perusahaan-perusahaan bersaing ketat untuk menjadi yang terbaik. Hanya organisasi yang terus belajar {learning organization) yang mampu bertahan dan memenangkan persaingan [SEN90]. Tujuan perusahaan menjadi learning organization adalah untuk keunggulan bersaing dari kompetitornya dengan cara selalu berkembang dan belajar layaknya organisme hidup. Learning organization memiliki komponen penting yaitu pengetahuan. Oleh karena itu, perusahaan memerlukan suatu sistem untuk mengelola pengetahuan yang digunakan untuk belajar dan berkembang. Konsep yang dapat menjawab kebutuhan ini adalah knowledge management system (KMS). Knowledge management bertujuan untuk membuat organisasi belajar {learning organization). Pada organisasi belajar ini, bekerja dan belajar merupakan hal yang sama dalam suatu institusi yang digunakan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif berdasarkan nilai-nilai tertentu [LIPI07].
Penerapan knowledge management di perusahaan dipandang sebagai sebuah sistem terstruktur yang menjalankan proses pengetahuan. Keberjalanan proses tersebut diawali dengan kesadaran dan pemahaman orang-orang di dalam perusahaan akan pentingnya pengetahuan untuk proses belajar. Selain itu, ada teknologi untuk membantu mengoptimalkan keberjalanan proses pengetahuan tersebut. Paparan ini merupakan gambaran sederhana mengenai knowledge management sebagai sebuah sistem di perusahaan.
Salah satu alasan mengapa performansi KMS di perusahaan perlu diukur diungkapkan dalam jurnal yang ditulis Fairchild mengenai knowledge management [FAI02]. Pengukuran performansi KMS penting untuk melihat seberapa baik sebuah perusahaan dalam mengubah kemampuan individual learning maupun team capabilities menjadi organizational knowledge, bagaimana tacit knowledge dapat diubah menjadi explicit knowledge, dan mengurangi resiko kehilangan pengetahuan yang bernilai apabila karyawan meninggalkan perusahaan[FAI02]. Secara umum, tujuan pengukuran performansi KMS adalah untuk melihat apakah visi dan tujuan strategis KMS tercapai. Berdasarkan hasil pengukuran ini, perusahaan dapat mengevaluasi bagaimana performansi KMS yang diimplementasikan di perusahaan dan merumuskan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan untuk meningkatkan performansi KMS tersebut.
Untuk mengukur performansi, diperlukan suatu metode atau framework pengukuran performansi. Salah satu metode yang digunakan untuk mengukur performansi suatu organisasi atau perusahaan adalah balanced scorecard (BSC). BSC memandang sebuah perusahaan dari empat perspektif, yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal, serta kemampuan belajar dan berkembang [KAP96]. Makna balance dalam BSC adalah seimbang dalam menilai sebuah kinerja. Kinerja sebuah perusahaan tidak bisa hanya dilihat dari kinerja yang telah lalu (finansial) akan tetapi juga dari hal-hal yang menentukan kinerja masa depan (customer, internal business process dan learning & growth) [BSC02]. Metode ini menggunakan key performance indikator (KPI) untuk mengukur performansi yang dirumuskan berdasarkan tujuan strategis yang diturunkan dari visi dan misi perusahaan.
Kebutuhan untuk mengukur performansi KMS berdasarkan tujuan strategis dan menyeluruh dengan melihat kinerja yang telah lalu maupun kinerja masa depan inilah yang menjadi latar belakang mengapa BSC dipilih menjadi metode untuk mengukur performansi KMS di perusahaan. Pada tugas akhir ini, KMS dipandang sebagai sistem yang telah memiliki visi sendiri. Visi KMS kemudian dapat diturunkan menjadi tujuan strategis. KPI untuk mengukur performansi KMS dapat diturunkan dari tujuan strategis tersebut. KPI ini kemudian akan dikaitkan dengan keempat perspektif BSC. Melalui penelitian pada tugas akhir ini dapat dieksplorasi lebih jauh lagi apakah BSC dapat digunakan untuk mengukur performansi KMS.

1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang diangkat dalam tugas akhir ini adalah:
"Apakah balanced scorecard dapat digunakan untuk mengukur performansi KMS di perusahaan?"
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa hal yang akan dikaji dalam tugas akhir ini, yaitu:
1. Model knowledge management system yang digunakan sebagai objek pengukuran.
2. Karakteri stik empat perspektif balanced scorecard.
3. Karakteri stik perusahaan dan knowledge management system.
4. Key performance indikator (KPT) yang diturunkan dari empat perspektif balanced scorecard untuk mengukur performansi knowledge management system yang diimplementasikan di perusahaan.

1.3 Tujuan
Tujuan dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami bentuk knowledge management system yang diimplementasikan secara nyata di suatu perusahaan.
2. Untuk melihat peluang penggunaan balanced scorecard sebagai metode pengukuran performansi untuk knowledge management system.
3. Untuk menganalisis bagaimana mengukur performansi knowledge management system di perusahaan menggunakan balanced scorecard.
4. Untuk menganalisis key performance indikator yang dapat digunakan untuk mengukur performansi knowledge management system di perusahaan.

1.4 Batasan Masalah
Kajian dan pembahasan masalah pada tugas akhir ini akan dibatasi pada hal-hal sebagai berikut:
1. Performansi knowledge management system diukur berdasarkan visi knowledge management system tersebut.
2. Kajian dilakukan dengan menggunakan sebuah sampel perusahaan yang telah mengimplementasikan knowledge management system. Pertimbangan penggunaan hanya sebuah sampel perusahaan dilakukan berdasarkan fokus yang ingin diperoleh dalam menurunkan key performance indicator dari sebuah visi knowledge management system.
3. Balanced Scorecard hanya digunakan sebagai metode pengukuran dan bukan sebagai alat perencanaan bagi perkembangan KMS.
4. Kajian dilakukan hanya terhadap bagaimana cara mengukur performansi dan tidak sampai kepada hasil pengukuran.

1.5 Metodologi
Berikut ini merupakan tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam mengerjakan tugas akhir:
1. Studi literatur
Kegiatan ini akan dilaksanakan dari awal penyusunan proposal sampai akhir pengerjaan tugas akhir. Studi literatur dilakukan untuk mengkaji lebih dalam mengenai knowledge management system, key performance indicator, dan balanced scorecard.
2. Analisis Awal
Analisis awal berisi pembahasan yang kemudian akan menjadi dasar dalam pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Bab ini berisi bahasan mengenai model KMS yang akan diukur performansinya pada tugas akhir ini, analisis untuk menganalogikan KMS dan perusahaan, dan kerangka kerja yang digunakan dalam analisis pada bab selanjutnya. Analisis awal mengenai KMS dilakukan menggunakan studi kasus berupa forum tugas akhir di laboratorium Sistem Informasi pada Program Studi Informatika ITB. Studi kasus ini digunakan untuk memahami proses pemetaan sebuah kegiatan menjadi sebuah KMS. Sedangkan analisis mengenai analogi KMS dan perusahaan dilakukan karena BSC merupakan metode pengukuran performansi untuk perusahaan/organisasi. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk membandingkan kedua hal ini.
3. Observasi perusahaan
Kegiatan ini dilakukan setelah kajian awal selesai dilaksanakan dan dilakukan dengan tujuan untuk mengamati KMS yang diimplementasikan di perusahaan. Apabila memungkinkan, observasi juga akan dilakukan terhadap pengukuran performansi KMS yang telah ada di perusahaan. Metode observasi yang digunakan berupa wawancara, observasi lapangan, dan eksplorasi dokumen (jika memungkinkan). Berdasarkan hasil observasi, kemudian akan dianalisis mengenai bentuk KMS yang diimplementasikan di perusahaan. Hal ini akan digunakan untuk analisis lanjutan mengenai pengukuran yang akan dilakukan kepada KMS tersebut.
4. Analisis lanjutan
Pada tahap ini dilakukan perumusan analisis untuk mengukur performansi KMS perusahaan menggunakan BSC. Model KMS perusahaan yang menjadi objek pengukuran dibentuk menggunakan model KMS hasil analisis sebelumnya dan hasil observasi di PT. Telkom.
5. Penarikan kesimpulan dan saran
Setelah analisis dilakukan, hasilnya dapat digunakan untuk menarik kesimpulan apakah balanced scorecard dapat digunakan untuk mengukur performansi KMS beserta kekurangan dan saran perbaikannya.

1.6 Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan laporan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:
1. BAB I PENDAHULUAN, merupakan bab pembuka laporan yang memiliki gambaran umum mengenai pelaksanaan Tugas Akhir. Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan, batasan masalah, metodologi, dan sistematika pembahasan dalam pelaksanaan Tugas Akhir.
2. BAB II DASAR TEORI, menjelaskan dasar-dasar teori mengenai pengetahuan, knowledge management system, pengukuran performansi, dan balanced scorecard. Dasar teori ini kemudian akan digunakan sebagai bekal melakukan analisis pada tahap selanjutnya.
3. BAB III ANALISIS AWAL, menjelaskan model KMS yang akan diukur performansinya menggunakan BSC, karakteristik empat perspektif balanced scorecard, analogi KMS dan perusahaan menggunakan perbandingan karakteristik keduanya, dan kerangka kerja pengukuran performansi menggunakan BSC.
4. BAB IV ANALISIS LANJUTAN, berisi analisis mengenai bagaimana mengukur performansi KMS berdasarkan model KMS untuk perusahaan. Hal-hal yang dibahas meliputi pembentukan model KMS perusahaan secara umum, pemahaman visi KMS, perumusan tujuan strategis KMS untuk setiap perspektif BSC, penentuan key success factor setiap perspektif, identifikasi hubungan sebab akibat antar perspektif BSC, perumusan KPI KMS untuk setiap perspektif BSC, evaluasi rumusan KPI, penentuan prosedur implementasi, dan analisis tambahan mengenai prospek teknologi untuk membantu proses pengukuran KPI.
BAB V PENUTUP, berisi kesimpulan-kesimpulan mengenai pelaksanaan kegiatan Tugas Akhir baik isi maupun proses dan saran-saran yang dapat diberikan untuk pengembangan yang mungkin dilakukan terhadap Tugas Akhir ini.

SKRIPSI PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI ATAS PELAKSANAAN SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM KETERKAITANNYA DENGAN TINDAKAN TAX EVASION PADA KPP X

(KODE : EKONAKUN-0073) : SKRIPSI PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI ATAS PELAKSANAAN SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM KETERKAITANNYA DENGAN TINDAKAN TAX EVASION PADA KPP X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Pemerintah memiliki peranan penting dalam kehidupan ekonomi suatu negara. Pemerintah harus melakukan pengendalian terhadap kondisi yang tengah terjadi dan mengevaluasinya kemudian merancang suatu aturan untuk membuat perekonomian menjadi lebih baik. Dalam melaksanakan kegiatannya, negara memerlukan adanya aliran dana untuk menjalankan roda pemerintahan. Dana yang telah diperoleh dari beberapa sektor penerimaan APBN akan digunakan untuk keberlangsungan/pengeluaran negara, baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Sektor pendapatan terbesar dalam pos APBN berasal dari penerimaan pajak yang masih potensial untuk terus ditingkatkan penerimaannya. Pajak sendiri berfungsi sebagai alat untuk mengisi kas negara (budgetair) dan sebagai alat pemerintah untuk mengatur rakyatnya melalui kebijakan fiskal yang ditetapkan (regulerend). Menurut Sakli Anggoro, Dirjen Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo (Suluttenggo) dan Maluku Utara menyebutkan bahwa pajak masih menjadi urat nadi pembangunan di Indonesia. Sebab, sebanyak 75 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih berasal dari penerimaan sektor pajak (radarsulteng.com, 4 Februari 2010). Hal ini menunjukkan dominannya penerimaan APBN dari sektor pajak guna pembiayaan negara. Sehingga, penerimaan pajak yang optimal akan menyebabkan keberlangsungan negara berjalan dengan baik. Pemerintah harus memiliki manajemen yang baik dalam mengelola sumber dana yang telah diperoleh dari sektor pajak agar penggunaanya berjalan efektif dan efisien sehingga tidak terjadi penyalahgunaan.
Upaya untuk mendapatkan penerimaan pajak yang optimal dengan sistem pemungutan pajak secara Self Assessment, tidak hanya mengandalkan pemerintah tapi juga diperlukan sikap bijak dari para wajib pajak, yaitu kesadaran dan kepatuhan diri terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Dengan begitu pelaksanaan Self Assessment System dapat berjalan dengan baik. Beberapa kasus mengungkapkan kejadian penyelundupan pajak/tax evasion, yaitu Direktorat Jenderal Pajak menemukan dugaan kekurangan pembayaran pajak pada 2007 oleh ketiga perusahaan batu bara Grup Bakrie, yaitu PT Bumi Resources Tbk., PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia. Pemeriksaan bukti permulaan (setara dengan penyelidikan di kepolisian dan KPK) atas Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak tahun itu menunjukkan ada indikasi kesalahan data, sehingga mengakibatkan kekurangan sekitar Rp 2,1 triliun (Tempo, 12 Desember 2009). Kasus penyelundupan pajak tersebut dilakukan dengan melakukan manipulasi data pada Surat Pemberitahuan Pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak. Hal serupa terjadi juga pada PT Asian Agri Grup. Dari hasil penyidikan Ditjen Pajak, PT Asian Agri Grup disebutkan telah memanipulasi isi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak selama tiga tahun sejak 2002. Perusahaan ini menggelembungkan biaya, memperbesar kerugian transaksi ekspor dan menciutkan hasil penjualan dengan total Rp 2,6 triliun (BBCInonesia.com, 8 November 2007).
Selain kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan di atas, Direktorat Jenderal Pajak juga menyidik 46 kasus dugaan penggelapan pajak lainnya pada tahun 2008. Perkiraan kerugian negara akibat penggelapan itu sekitar Rp 325 miliar. Menurut Kepala Subdirektorat Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane, jumlah kerugian negara digabungkan dengan dugaan penggelapan pajak Asian Agri mencapai Rp 1,625 triliun (pajak.com, 12 Mei 2008).
Badan Pemeriksa Keuangan mencurigai aparat pajak bermain dalam dugaan kasus manipulasi pajak Asian Agri. Ketua BPK Anwar Nasution mempertanyakan lamanya pemeriksaan pajak yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak terhadap Sukanto Tanoto (pajak.com, 23 Januari 2008).
Fenomena ketidakpatuhan lainnya adalah dengan melaporkan sebagian laporan keuangan perusahaan. Kejadian ini terjadi pada PT Tiara Dewata Group (TDG) yang diduga telah menggelapkan pajak hingga lebih dari Rp23 miliar mulai 2005 sampai 2006 dengan modus membuat pembukuan ganda. Teguh Harianto (ahli perhitungan kerugian negara) mengaku pernah melakukan penghitungan pajak untuk tahun 2005 dan 2006 di PT Karya Luhur Permai sebagai wajib pajak (WP). Dari hasil perhitungan tersebut, ditemukan pajak yang belum dibayarkan wajib pajak meliputi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh). Dari dua pembukuan itu, hanya pembukuan tipe A yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan pajak (SPT), sedang pembukuan tipe B tidak dilaporkan. Menurutnya, pembukuan tipe A dan tipe B tersebut tidak sesuai prosedur perpajakan. Mestinya semua pembukuan dilaporkan dalam SPT. Sehingga dengan tidak dilaporkannya omset dalam PPh maka secara otomatis akan mempengaruhi PPN (antaranews.com, 2 Desember 2009).
Beberapa penyelundupan pajak yang telah penulis sebutkan hanya yang terjadi di perusahaan dan itu merupakan kehendak petinggi perusahaan yang secara umum akan mewakili badan yang menaunginya berusaha. Namun ada juga penggelapan pajak yang memang tidak dilakukan secara sengaja oleh badannya tetapi dilakukan oleh pekerja yang mengurusi bagian pajak atau juga yang dilakukan oleh aparat pajak itu sendiri. Berikut adalah beberapa kasus penyelundupan pajak yang tidak dilakukan oleh badan usahanya. Penggelapan pajak tunjangan kesejahteraan bagi para guru di Dikdas dan Dikmenti Jakarta Selatan pada Januari 2009 yang dilakukan oleh lima pejabat di Dinas Pendidikan Jakarta Selatan. Mereka diduga telah menggelapkan uang pajak sebesar Rp 23 Miliar, namun setelah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), uang hasil korupsi gotong royong itu mencapai Rp 34 miliar. Kasus ini mencuat ketika dinas pajak menagih pajak tunjangan kesra guru ke Dikdas Jaksel. Dinas Jaksel kemudian menunjukkan bukti setoran pajak yang ternyata palsu (detik.com, 29 April 2009). Selain itu juga Direktorat Jenderal Pajak mensinyalir terdapat banyak bendaharawan pemerintah dan bendaharawan perusahaan yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipungutnya dari wajib pajak (WP) ke kas negara (pajak.com, 25 Mei 2009).
Korupsi yang sistematis dan ketidakmampuan sistem pajak dalam mengontrol jumlah alkohol yang dibutuhkan masyarakat di dalam negeri membuat negara kehilangan potensi penerimaan dari pajak atas impor minuman beralkohol senilai Rp 1,538 triliun. Angka ini 24 kali lebih besar dari Rp 62 miliar penerimaan pajak riil atas impor minuman beralkohol tahun 2008. Dalam laporan itu disebutkan, PT Sarinah sebagai agen tunggal pengimpor minuman beralkohol melaporkan bahwa tidak ada pajak atas impor minuman beralkohol untuk kas negara tahun 2007. Pada tahun 2008, penerimaan dari pajak tersebut hanya Rp 62 miliar, padahal penerimaan potensial dari pajak atas impor minuman beralkohol bisa mencapai Rp 1,6 triliun (kompas.com, 20 April 2009).
Sementara itu, fenomena yang terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X umumnya tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di bebarapa wilayah lain di Indonesia seperti masih adanya potensi wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri, adanya wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikannya dengan tidak benar, tidak menyetorkan pajak yang seharusnya maupun usaha untuk melakukan konspirasi dengan petugas pajak.
Sedangkan menurut penuturan salah seorang petugas pajak di bagian Seksi Pengawasan dan Konsultasi, upaya penggelapan pajak pernah terjadi melalui permohonan penghapusan NPWP dengan alasan wajib pajak telah meninggal maupun pindah alamat. Namun setelah ditelusuri ternyata wajib pajak masih hidup dan ada juga orang yang pindah alamat tersebut ternyata tidak mendaftarkan diri di tempat tinggal yang baru.
Hal utama yang melatarbelakangi adanya tindakan penyelundupan pajak seperti beberapa kejadian di atas adalah kebutuhan dasar manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Merasa telah bersusah payah untuk memperoleh pendapatan tetapi dengan begitu saja dipungut pajak oleh negara, ini membuat wajib pajak berpikir untuk menggelapkan pajak. Beberapa alasan lain yang membuat wajib pajak berusaha menyelundupkan pajak antara lain kondisi lingkungan yang tidak patuh pajak, pelayanan fiskus yang mengecewakan, tarif pajak yang dianggap terlalu tinggi, dan sistem administrasi perpajakan yang buruk (Siti Kurnia Rahayu, 2010:140-142).
Adanya tindakan penyelundupan pajak yang terjadi akan membuat negara mengalami kerugian yang sangat besar. Banyak sektor pengeluaran negara yang tentunya mengalami hambatan akibat tidak tersedianya dana yang siap digunakan.
Penyelundupan pajak harus sesegera mungkin diatasi untuk mencegah makin menjamurnya tindakan Tax Evasion. Salah satunya adalah dengan perbaikan pengelolaan pajak. Pengelolaan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak harus lebih ditingkatkan untuk menaikkan penerimaan pajak yang belum terserap maksimal karena sistem perpajakan yang belum berlangsung secara optimal. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia yaitu Self Assessment System dan With Holding Tax System. Self Assessment System memberikan kepercayaan sepenuhnya pada wajib pajak (dapat dibantu konsultan pajak) untuk menentukan utang pajaknya sendiri, kemudian melaporkan pembayaran dan penghitungan pajak yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan (Siti Kurnia Rahayu, 2010:102). Pelaksanaan Self Assessment System di Indonesia masih banyak menimbulkan masalah mulai dari pendaftaran NPWP hingga pelaporan SPT. Fenomena yang terjadi yaitu Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Pajak tampaknya harus lebih rajin menjelaskan tentang Sunset Policy kepada para Wajib Pajak pribadi maupun badan. Sebab, saat ini masih banyak wajib pajak yang enggan membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memperbaiki data Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) (pajakonline.com, 26 Agustus 2008). Kemudian sulitnya menghitung pajak, merupakan salah satu yang sering dikeluhkan masyarakat bila berhubungan dengan kantor pajak. Bukan hanya wajib pajak (WP) orang pribadi, wajib pajak badan juga mengalami hal yang sama (akuntansiumkm.wordpress.com, 18 February 2010).
Fenomena lain yang memberikan persepsi sulitnya pemenuhan Self Assessment System yaitu tanggapan wajib pajak mengenai pelaporan pajak. Pertama, wajib pajak sendiri harus isi beberapa berkas surat lapor pajak. Yang mungkin bagi pelapor pajak baru membingungkan. Karena pemerintah tidak menyediakan orang yang memadai untuk menjelaskan cara pengisian tersebut, yang paling mudah adalah meminta jasa konsultan pajak. Kedua, harus mengantri untuk menyetorkan pajak. Bank penerima pajak masih terbatas pada bank-bank tertentu, sehingga menimbulkan antrian yang panjang. Ketiga, keterlambatan membayar pajak dikenakan denda tambahan (fb republic of Indonesia, 25 April 2009).
Banyak orang yang malas jika harus berurusan dengan pajak. Selain rumit dan berbelit, sudah menjadi rahasia umum jika masih banyak aparat pajak yang cenderung menekan wajib pajak yang kurang paham atas kewajibannya itu. Salah satu yang kerap menjadi sasaran adalah para wajib pajak dengan usaha bebas seperti pedagang, dokter, notaris, konsultan, pemilik peternakan, petani tembakau, kopi dan banyak lagi (pajakpribadi.com, 13 Maret 2010).
Berdasarkan pengakuan beberapa wajib pajak KPP Pratama X, ditemukan keluhan lain yang bisa dikatakan merupakan pangkal masalah dalam pelaksanaan Self Assessment System, yaitu kurangnya sosialisasi kewajiban perpajakan yang sesuai ketentuan. Masyarakat merasakan bahwa mereka tidak tahu berbuat apa untuk melakukan kewajibannya karena tidak punya pengetahuan yang cukup tentang perpajakan.
Pasca reformasi si stem pemungutan pajak dari Official Assessment menjadi Self Assessment pada tahun 1984, negara menginginkan adanya reformasi di bidang perpajakan. Tujuan dari reformasi perpajakan antara lain: 1) Meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak (taxpayer's quality services) sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas Negara. 2) Menekan terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh Wajib Pajak. 3) Meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya. 4) Menerapkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak, sekaligus publikasi jelasnya pos penggunaanpengeluaran dana pajak. 5) Meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak, baik kepada fiskus maupun wajib pajak (Siti Kurnia Rahayu, 2009:99). Dari tujuan di atas dapat diketahui bahwa pada awalnya, pemberlakuan self assessment system dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan menekan terjadinya penyelundupan pajak. Namun setelah adanya perubahan sistem pemungutan pajak tersebut, kesempatan wajib pajak dalam upaya menyelundupkan pajak semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya ketentuan yang menyebutkan bahwa dalam self assessment system, wajib pajak harus memenuhi kewajiban perpajakannya dimulai dari pendaftaran NPWP hingga pelaporan SPT dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Sehingga usaha wajib pajak dalam melepaskan diri dari jeratan pajak dengan berbagai cara semakin leluasa karena semuanya dilakukan oleh sendiri.
Kemudian, hasil survey dari Tim Peneliti Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch (2000) menyebutkan bahwa dari pandangan Dirjen Pajak sendiri, self assessment sebenarnya juga mempunyai beberapa kekurangan seperti: a) Sistem ini ternyata kurang berhasil. Banyak yang tidak jujur dalam melaporkan besarnya penghasilan yang diperoleh, khususnya WP Perseorangan. Karena sangat banyak jumlah pendapatan yang tidak dilaporkan sebagai obyek pajak, b) Ketidaksuksesan sistem ini terlihat juga dari meningkatnya jumlah tunggakan pajak, meskipun WP sebenarnya memiliki kemampuan untuk membayar jumlah pajak tersebut, c) Untuk memaksa WP berlaku jujur, UU Perpajakan perlu memberikan sanksi yang berat kepada pelanggar. Namun sistem self assessment tetap dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai masalah tersebut dengan judul:
"Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Atas Pelaksanaan Self Assessment System Dalam Keterkaitannya Dengan Tindakan Tax Evasion Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X (Kasus Pada 23 Wajib Pajak Orang Pribadi Penerima SKPKB)".

1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Berdasarkan fenomena di latar belakang penelitian, maka penulis membuat identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Masyarakat enggan untuk membuat dan memiliki NPWP
2. Wajib pajak kesulitan menghitung pajak
3. Wajib pajak belum terakomodir dalam menyetorkan pajak
4. Wajib pajak kesulitan dalam proses pelaporan SPT
5. Kurangnya sosialisasi perpajakan mengenai kewajiban wajib pajak dalampelaksanaan Self Assessment System
6. Fiskus tidak menjalankan tugasnya dengan baik
7. Wajib pajak tidak menyampaikan SPT dengan benar
8. Bendaharawan perusahaan/pemerintah menggelapkan pajak
9. Konspirasi antara wajib pajak dengan aparat pajak
10. Penerapan Self Assessment System membuat tindakan Tax Evasion terjadi.
1.2.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan identifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System pada KPP Pratama X.
2. Bagaimana tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.
3. Bagaimana persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System dalam keterkaitannya dengan tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai Self Assessment System dan Tax Evasion dengan mengumpulkan data dan informasi yang kemudian dianalisa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System pada KPP Pratama X.
2. Untuk mengetahui tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.
3. Untuk mengetahui persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System dalam keterkaitannya dengan tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.

1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Akademis
Adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat bermanfaat secara akademis sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti
Penelitian diharapkan dapat memberi pemahaman teoritis lebih mendalam mengenai Self Assessment System dan Tax Evasion serta mengetahui bagaimana aplikasinya di kehidupan nyata sehingga dapat menjadi tambahan pengetahuan yang bermanfaat.
2. Bagi Instansi
Hasil penelitian dapat memberikan pandangan dan masukan KPP Pratama X mengenai persepsi wajib pajak atas pelaksanaan Self Assessment System dan tindakan Tax Evasion.
3. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang kajian yang sama, yaitu Self Assessment System dan Tax Evasion.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan informasi yang berguna bagi pelaksanaan Self Assessment System dan tentang Tax Evasion sehingga untuk perkembangan selanjutnya menjadi semakin baik.

SKRIPSI PENGARUH SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP DANA ALOKASI UMUM (DAU) PADA PEMERINTAHAN KOTA X

(KODE : EKONAKUN-0072) : SKRIPSI PENGARUH SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP DANA ALOKASI UMUM (DAU) PADA PEMERINTAHAN KOTA X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan pemerintahan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya Indonesia menganut sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik yang ternyata hanya menimbulkan ketidakadilan di seluruh daerah, sejak tahun 1999 diubah menjadi desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era otonomi daerah. Ketika otonomi daerah mulai digulirkan, harapan yang muncul adalah menjadi semakin mandiri di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing karena daerah diberikan kebebasan untuk mengelola wilayahnya sendiri. Selain itu daerah juga diberikan sumber-sumber pembiayaan kewenangan yang sebelumnya masih dipegang oleh Pemerintah Pusat di era Orde Baru. Kemandirian daerah tersebut dimanifestasikan lewat Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar dan kuat.
Sesuai dengan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, ditetapkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terdiri dari:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2. Dana Perimbangan
3. Pinjaman Daerah
4. Lain-lain Penerimaan yang Sah
Gambaran citra kemandirian daerah dalam berotonomi daerah dapat diketahui melalui seberapa besar kemampuan sumber daya keuangan daerah tersebut agar mampu membangun daerahnya, disamping mampu pula untuk bersaing secara sehat dengan daerah lain dalam mencapai cita-cita otonomi daerah. Untuk mengukur tingkat kemandirian daerah dapat dilakukan degan membandingkan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Anggaran Pendapatan dan Belanj a Daerah (APBD).
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD, dan Lain-lain PAD yang Sah. Dana Perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam upaya meningkatkan PAD, dibutuhkan suatu struktur industri yang mantap beserta objek pajak dan retribusi yang taat. Sementara Dana Alokasi Umum (DAU) dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat sebaliknya hanya bersifat suplemen bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah.

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Menurut data tabel 1.1 diatas terlihat bahwa Pajak Daerah selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 mengalami peningkatan, namun pada tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada pos Retribusi Daerah tahun 2001 dan 2002 mengalami peningkatan namun menurun pada tahun 2003, kemudian meningkat lagi pada tahun 2004 dan 2005, setelah itu menurun lagi pada tahun 2006. Pada pos Bagian Laba BUMD dari tahun 2001 hingga 2002 mengalami peningkatan namun menurun pada tahun 2003, kemudian meningkat lagi di tahun-tahun berikutnya terutama pada tahun 2006 mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Sementara pada pos PAD Lain-lain yang Sah meningkat hingga tahun 2003 kemudian pada tahun 2004 dan 2005 terus mengalami penurunan, lalu pada tahun 2006 meningkat lagi. Sedangkan untuk PAD sendiri secara total di tahun 2004 terjadi penurunan yang mencapai 20,82% namun pada tahun 2005 dan 2006 kembali mengalami peningkatan sebesar 21,73% dan 7,77%.
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa DAU yang berasal dari pemerintah pusat setiap tahunnya menunjukkan peningkatan, walaupun pada tahun 2003-2004 tidak mengalami perubahan atau dengan kata lain nilainya tetap. Tentunya hal ini tidak diinginkan sebab DAU dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat lainnya sebaiknya hanya bersifat suplemen bagi Pemerintah Daerah X. Oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Untuk mengurangi ketergantungan aliran dana yang diperoleh dari pemerintah pusat maka daerah harus mampu menggali sumber-sumber potensial yang berasal dari daerahnya sendiri melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ironisnya terjadi ketidakstabilan laju pertumbuhan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah pada Pemerintahan Kota X. Hal ini tentunya tidak diinginkan mengingat salah satu ukuran kemandirian suatu daerah di daerah otonomi adalah ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui seberapa besar pengaruh sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD) terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) sehingga penulis membahasnya dalam skripsi yang berjudul: "Pengaruh Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) Pada Pemerintahan Kota X"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis merumuskan masalah adalah:
1. Apakah Pajak Daerah berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
2. Apakah Retribusi Daerah berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
3. Apakah Bagian Laba BUMD berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
4. Apakah Lain-lain PAD yang Sah berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
5. Apakah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD, dan Lain-lain PAD yang Sah secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?

C. Batasan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi pada penerimaan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD dan Lain-lain PAD Yang Sah.

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pajak Daerah terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Retribusi Daerah terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Bagian Laba BUMD terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Lain-lain PAD yang Sah terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
5. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD dan Lain-lain PAD yang Sah secara bersama-sama terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan tentang analisis laporan keuangan daerah dalam era otonomi daerah.
2. Memberikan masukan kepada pihak yang berwenang di dalam pengambilan keputusan penetapan skala prioritas penggalian sumber pendapatan yang bersumber dari PAD.
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi penulis lainnya yang akan melakukan atau melanjutkan penelitian yang sejenis dengan penelitian ini.

SKRIPSI PENGARUH SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA X

(KODE : EKONAKUN-0071) : SKRIPSI PENGARUH SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pengadaan dana merupakan masalah yang penting bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Sumber pembiayaan pembangunan berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Namun demikian sumber dari dalam negeri lebih diutamakan dari pada luar negeri. Dalam peningkatan dana dalam negeri, pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah perpajakan di Indonesia
Ditengah kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor khususnya sektor ekonomi yang mana hal ini diperparah dengan adanya krisis ekonomi di Amerika Serikat yang berdampak terhadap terciptanya krisis ekonomi global yang makin memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Berfluktuasinya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi, naiknya harga barang-barang dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, serta turunnya daya beli masyarakat telah menjadi masalah yang sangat rumit yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Kenyataanya ditengah situasi ekonomi Indonesia dewasa ini yang tidak stabil, pembangunan tetap harus berjalan dan permasalahan-permasalahan baik di bidang ekonomi ataupun di bidang lain harus segera diatasi dengan cepat dan tepat demi terciptanya kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Untuk tetap dapat bertahan dan memperbaiki kondisi ekonomi yang ada, pemerintah harus mengupayakan semua potensi penerimaan yang ada. Pada saat ini tengah digali berbagai macam potensi untuk meningkatkan penerimaan negara, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun seiring dengan berkembangnya kemampuan analisis para praktisi ekonomi yang menyatakan bahwa mengandalkan pinjaman dari luar negeri sebagai salah satu sumber penerimaan negara hanya akan menjadi bumerang dikemudian hari, potensi penerimaan dari pinjaman luar negeri akan semakin dikurangi.
Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia akan bemsaha untuk lebih meningkatkan potensi penerimaan negara dari dalam negeri, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pajak telah memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan negara. Menumt APBN sumber pendapatan terbanyak didapat dari sektor perpajakan meskipun masih banyak sektor lain seperti minyak dan gas bumi, serta bantuan luar negeri. Hal ini bisa dibuktikan saat negara kita dilanda krisis berkepanjangan sampai saat inipun masih diragukan apakah negara kita bisa menumbuhkan keadaan perekonomian, sektor pajak masih tetap memiliki nilai besar bahkan mengalami kenaikan serta menembus sampai pada prosentase terbesar dari sektor non migas sementara sektor non migas cendemng mengalami penumnan dan juga bantuan luar negeri yang bunganya bisa membesar seiring fluktuasi mata uang dolar terhadap mpiah. Diharapkan pemasukan dari pajak terns dinaikkan salah satunya dengan mengadakan kebijakan-kebijakan bam seperti ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan cara meningkatkan jumlah pajak dan obyek pajak baru sedangkan intensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan berorientasi pada peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak, suatu misal dengan cara pengadaan penyuluhan langsung pada masyarakat, sunset policy, dan sebagainya.
Wilayah X khususnya ibukota Y memiliki potensi yang sangat besar dalam meningkatkatkan penerimaan negara khususnya dari sektor perpajakan. Y sebagai salah satu kota besar di Indonesia menyumbangkan lebih kurang 100 miliar setiap tahunnya dari sektor perpajakan saja. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta berkembangnya perekonomian di kota Y, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi penerimaan negara.
Pajak merupakan iuran wajib yang diberlakukan pada setiap wajib pajak atas obyek pajak yang dimilikinya dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Penerimaan dari sektor pajak terbagi menjadi dua golongan, yaitu dari pajak langsung contohnya pajak penghasilan dan dari pajak tidak langsung contohnya pajak pertambahan nilai, bea materai, bea balik nama.
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut pada obyek pajak atas penghasilannya. Pajak penghasilan akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha yang memperoleh penghasilan di Indonesia. Undang-undang yang dipakai untuk mengatur besarnya tarif pajak, tata cara pembayaran dan pelaporan pajak penghasilan adalah Undang-undang No. 36 Tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan bagi Undang-undang No. 17 tahun 2000. Undang-undang pajak penghasilan telah menetapkan sistem pemungutan pajak penghasilan secara self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab penuh dari pemerintah untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terhutang. Dengan sistem ini pemerintah berharap agar pelaksanaan pemungutan pajak penghasilan dapat berjalan dengan lebih mudah dan lancar.
KPP Pratama X adalah salah satu Kantor Pelayanan Pajak yang telah melaksanakan sistem adminisrasi, pelayanan, maupun situasi kerja yang baik dan memiliki wilayah kerja yang luas meliputi beberapa kecamatan. Berdasarkan berbagai kondisi yang ada, tampaknya wilayah X mempunyai potensi yang cukup bagus untuk meningkatkan penerimaan pajak sesuai dengan target penerimaan yang ingin dicapai, oleh karena itu keberadaan KPP di X sangatlah penting untuk dapat meyerap semua potensi penerimaan pajak yang ada.
Dengan argumen-argumen tersebut maka penulis menetapkan judul bagi penulisan skripsinya yaitu: "Pengaruh Self Assessment System Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X"

B. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : "Apakah NPWP dan SSP PPh Pasal 25 berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X ?"

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah NPWP dan SSP PPh pasal 25 berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dihaarapkan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis sehubungan dengan pengaruh self assessment system terhadap penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
2. Bagi instansi terkait, sebagai bahan informasi pelengkap atau masukan sekaligus pertimbangan bagi pihak-pihak yang berwenang yang
berhubungan dengan penelitian ini dalam penetapan kebijakan pada pelaksanaan atau penggunaan suatu sistem pemungutan yang diterapkan pada Pajak Penghasilan untuk dapat mengoptimalkan penerimaan pajak negara.
3. Bagi peneliti lainnya, sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian sejenis.

E. Batasan Penelitian
Untuk mengarahkan penelitian agar lebih terfokus serta sistematis maka peneliti membatasi penelitian ini pada batasan, yaitu :
1. Batasan Aspek
Aspek penelitian ini terbatas pada self assessment system yang dicirikan oleh NPWP dan SSP PPh Pasal 25 terhadap variabel penerimaan pajak penghasilan pada Wajib Pajak Orang Pribadi.
2. Batasan Lokasi
Batasan lokasi penelitian adalah pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.

SKRIPSI PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA PERUSAHAAN YANG TERMASUK KELOMPOK SEPULUH BESAR MENURUT CORPORATE GOVERNANCE PERCEPTION INDEX (CGPI)

(KODE : EKONAKUN-0070) : SKRIPSI PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA PERUSAHAAN YANG TERMASUK KELOMPOK SEPULUH BESAR MENURUT CORPORATE GOVERNANCE PERCEPTION INDEX (CGPI)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan penting pendirian suatu perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pemiliknya atau pemegang saham, atau memaksimalkan kekayaan pemegang saham melalui peningkatan nilai perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Peningkatan nilai perusahaan tersebut dapat dicapai jika perusahaan mampu beroperasi dengan mencapai laba yang ditargetkan. Melalui laba yang diperoleh tersebut perusahaan akan mampu memberikan dividen kepada pemegang saham, meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Hambatan-hambatan yang dihadapi perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan tersebut pada umumnya berkisar pada hal-hal yang sifatnya fundamental yaitu : (1) Perlunya kemampuan perusahaan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya secara efektif dan efisien, yang mencakup seluruh bidang aktivitas (sumber daya manusia, akuntansi, manajemen, pemasaran dan produksi), (2) Konsistensi terhadap sistem pemisahan antara manajemen dan pemegang saham, sehingga secara praktis perusahaan mampu meminimalkan konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara manajemen dan pemegang saham dan (3) Perlunya kemampuan perusahaan untuk menciptakan kepercayaan pada penyandang dana ekstern, bahwa dana ekstern tersebut digunakan secara tepat dan seefisien mungkin serta memastikan bahwa manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan perusahaan. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, maka perusahaan perlu memiliki suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, yang mampu memberikan perlindungan efektif kepada para pemegang saham dan pihak kreditur, sehingga mereka dapat meyakinkan dirinya akan memperoleh keuntungan investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi, selain itu juga harus dapat menjamin terpenuhinya kepentingan karyawan serta perusahaan itu sendiri.
Kondisi yang dihadapi perusahaan-perusahaan publik di Indonesia masih lemah dalam mengelola perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh masih lemahnya standar-standar akuntansi dan regulasi, pertanggungjawaban terhadap para pemegang saham, standar-standar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses kepengumsan perusahaan. Kenyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan masih lemahnya perusahaan-perusahaan publik di Indonesia dalam menjalankan manajemen yang baik dalam memuaskan stakeholders perusahaan.
Dalam upaya mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, maka para pelaku bisnis di Indonesia menyepakati penerapan good corporate governance (GCG) suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, hal ini sesuai dengan penandatanganan perjanjian Letter of intent (LOI) dengan IMF tahun 1998, yang salah satu isinya adalah pencantuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan di Indonesia (Sri Sulistyanto, 2003). Sulit dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah GCG kian populer. Tak hanya populer, tetapi istilah tersebut juga ditempatkan di posisi terhormat. Hal itu, setidaknya terwujud dalam dua keyakinan.
Pertama, GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis global-terutama bagi perusahaan yang telah mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka. Kedua, krisis ekonomi dunia, di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini muncul karena kegagalan penerapan GCG. Di antaranya, sistem regulatory yang payah, standar akuntansi dan audit yang tidak konsisten, praktek perbankan yang lemah, serta pandangan Board of Directors (BOD) yang kurang peduli terhadap hak-hak pemegang saham minoritas.
Pada tahun 2001, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menerbitkan pedoman GCG. Pedoman ini bertujuan agar dunia bisnis memiliki acuan dasar mengenai konsep serta pola pelaksanaan GCG yang sesuai dengan pola internasional umumnya dan Indonesia khususnya. Melalui penerapan GCG tersebut diharapkan: (1) perusahaan mampu meningkatkan kinerjanya melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta mampu meningkatkan pelayanannya kepada stakeholders, (2) perusahaan lebih mudah memperoleh dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan corporate value, (3) mampu meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan (4) pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen.
Melihat akan harapan tersebut, maka kebutuhan akan pelaksanaan GCG sudah merupakan kebutuhan yang mendesak bagi suatu perusahaan. Sehingga menjadi keharusan bagi perusahaan-perusahaan untuk menerapkan dan melaksanakan GCG agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Manfaat perusahaan menerapkan praktek GCG adalah resources yang dimiliki pemegang saham perusahaan dapat dikelola dengan baik, efisien dan digunakan semata-mata untuk kepentingan peningkatan nilai perusahaan. Semua itu dilakukan perusahaan untuk dapat maju dan bersaing secara sehat. Hal ini berarti bahwa GCG tidak saja berakibat positif terhadap pemegang saham namun bagi masyarakat luas yang berupa pertumbuhan perekonomian nasional.
Beberapa bukti empiris yang menunjukkan bahwa penerapan GCG dapat memperbaiki kinerja perusahaan antara lain: (1) Penelitian yang dilakukan oleh Winda Putri (2006) terhadap perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ menunjukkan corporate governance secara statistik mempengaruhi kinerja perusahaan, (2) Penelitian yang dilakukan oleh Yudha Pranata (2007) terhadap perusahaan go public di BEJ yang termasuk dalam kelompok sepuluh besar perusahaan berdasarkan indeks GCG menunjukkan bahwa penerapan GCG secara signifikan dapat meningkatkan return on equity, net profit margin dan Tobin's Q, (3) Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan Frediawan (2008) terhadap PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Persero) menunjukkan bahwa penerapan GCG yang dilakukan perusahaan tersebut mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan yang dapat dilihat dari meningkatnya rasio return on asset. Namun ada penelitian lain yang dilakukan oleh Irene Dumasi Siahaan (2008) terhadap sepuluh perusahaan sektor keuangan yang listing di BEI menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara penerapan GCG terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan economic value added.
Mengacu pada hasil-hasil penelitian empiris yang telah dilakukan, walaupun ada ketidakkonsistenan tampak bahwa bukti empiris tersebut menunjukkan betapa pentingnya penerapan GCG dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan. Dalam kaitan ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai "Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Yang Termasuk Kelompok Sepuluh Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI)". Kinerja keuangan perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan return on investment, return on equity dan net profit margin.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: apakah penerapan GCG berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan secara parsial?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan GCG terhadap kinerja keuangan perusahaan secara parsial.

D. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pengaruh penerapan GCG di Indonesia; khususnya pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan,
2. bagi peneliti lainnya, dapat dijadikan bahan referensi guna penelitian selanjutnya yang sejenis,
3. bagi akademisi, dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai penerapan GCG di Indonesia, khususnya pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan (return on investment, return on equity, dan net profit margin),
4. bagi investor, dapat memberikan bahan masukan untuk pengambilan keputusan mengenai investasi pada perusahaan yang telah menerapkan GCG.

SKRIPSI PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) TERHADAP UPAYA PAJAK DAERAH PADA PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI X

(KODE : EKONAKUN-0069) : SKRIPSI PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) TERHADAP UPAYA PAJAK DAERAH PADA PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (dalam perkembangannya kedua regulasi ini diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004) menjadi babak baru terkait dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Daerah (kabupaten dan kota) diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki. Daerah diharapkan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Peningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal lebih cepat terwujud dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya di indikasikan dengan meningkatnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Salah satu kendala yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah adanya disparitas (kesenjangan) fiskal antar daerah.
Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah pusat memberikan bantuan (transfer) kepada pemerintah daerah, salah satunya pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang kecil. Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kontribusi publik terhadap pajak (misal : membayar pajak atau retribusi). Kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi.
Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa dalam perkembangannya daerah tidak menunjukkan adanya peningkatan kemandiran. Penelitian Susilo dan Adi (2007), serta Setiaji dan Adi (2007) memberikan fakta empirik tidak adanya peningkatan kontribusi {share) PAD terhadap belanja daerah. Daerah justru lebih mengandalkan sumber pendanaan lain dalam pembiayaan. Abdullah dan Halim (2003) memberikan bukti bahwa DAU mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap belanja daerah daripada pengaruh PAD terhadap belanja daerah. Daerah cenderung mempertahankan penerimaan DAU dikarenakan jumlahnya yang sangat besar daripada mengupayakan peningkatan pendapatan sendiri. Adi (2007) memberikan indikasi kurang seriusnya daerah dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki, lebih mengandalkan penerimaan DAU yang bersifat hibah. Bisa jadi sebagai pertimbangan praktis upaya ini lebih dipilih daripada meningkatkan PAD secara signifikan, namun disisi lain sebagai konsekuensinya DAU yang diterima menjadi lebih kecil. Dengan kata lain pemberian DAU ini justru memberikan dampak negatif terhadap peningkatan upaya pajak (tax effort) daerah. Pemberian DAU yang semula bertujuan untuk mengurangi disparitas horizontal, justru menjadi disinsentif bagi daerah untuk mengupayakan peningkatan kapasitas fiskal. Upaya pajak menjadi lebih rendah, harapan adanya peningkatan kemandirian daerah justru menjadi semakin jauh.
Demikian juga dengan kondisi pemerintahan kabupaten/kota di Provinsi X, belum ada satupun pemerintah daerah yang mampu untuk mengelola keuangan daerahnya tanpa bantuan pemerintahan diatasnya, ditandai dengan besarnya penerimaan daerah yang bersumber dari transfer pemerintah pusat. Contoh kasus seperti di Kabupaten Y tahun 2005 memperoleh Dana Alokasi Umum sebesar Rp 188.714.000.000, Dana Alokasi Khusus sebesar Rp 8.000.000.000, upaya pajaknya sebesar 0.921964456. Pada tahun 2006 jumlah DAU sebesar Rp 303.501.000.000, DAK sebesar Rp 32.378.383.000, upaya pajaknya sebesar Rp 0.716681908. Tahun 2007 jumlah DAU yang diterima sebesar Rp 344.516.000.000, DAK sebesar Rp 39.038.000, upaya pajaknya sebesar Rp 0.473153896. Upaya pajak dapat dihitung dengan membandingkan realisasi anggaran PAD dan Anggaran PAD. Berdasarkan contoh kasus diatas terlihat penerimaan DAU dan DAK dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tetapi disisi lain tidak diikuti oleh peningkatan upaya pajak. Hal ini tidak sesuai dengan harapan bahwa pemberian DAU untuk mengatasi disparitas fiskal horizontal. Daerah cenderung bergantung pada DAU yang jumlahnya sangat besar daripada mengupayakan peningkatan pendapatan asli daerahnya. Kenyataannya, belum semua pemerintah daerah mampu mengalokasikan sumber penerimaan ini sebagai salah satu upaya untuk memaksimalkan kemampuan daerah dalam mengembangkan wilayahnya melalui peningkatan pembangunan dan investasi. Pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus peningkatan kemandirian daerah, justru direspon berbeda oleh daerah. Daerah pada akhirnya tidak menjadi lebih mandiri, bahkan semakin bergantung pada bantuan dana dari pemerintah pusat.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul:
"PENGARUH DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP UPAYA PAJAK DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI X"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti membuat hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : "Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap Upaya Pajak {Tax Effort) Daerah pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi X?"

C. Batasan Penelitian
Batasan-batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. batasan aspek dalam penelitian ini, hanya terhadap akuntansi keuangan daerah saja untuk menjelaskan pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Upaya Pajak Daerah.
2. objek penelitian adalah kabupaten dan kota yang ada di Provinsi X

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap upaya pajak daerah pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi X.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan tentang pengaruh Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap upaya pajak daerah pada pemerintah kabupaten/kota di Provinsi X.
2. Bagi Pemerintah Daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam hal penggunaan keuangan daerah dengan optimal.
3. Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan menjadi referensi untuk melakukan penelitian lainnya yang sejenis.

SKRIPSI PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA LANGSUNG PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

(KODE : EKONAKUN-0068) : SKRIPSI PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA LANGSUNG PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa lepas dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Otonomi daerah adalah hasil dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi. Hal ini harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratisasi, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik
Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah, yang mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang secara demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintahan yang sesungguhnya. Desentralisasi sendiri mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah (Pramela, 2009).
Otonomi daerah yang diberikan kepada daerah merupakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Soekarwo, 2003:93). Dalam pelaksanaan otonomi tersebut pemerintah daerah harus memiliki wewenang dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, serta didukung oleh perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah. Dalam konteks desentralisasi, daerah provinsi memiliki wewenang sebagaimana pemerintah pusat. Wewenang tersebut antara lain adalah melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota dan keputusan kepala daerah.
Reformasi anggaran dalam konteks otonomi memberikan paradigma baru terhadap anggaran daerah yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan umum, yang dikelola dengan berdaya guna dan berhasil guna serta mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Lingkungan anggaran menjadi relevan dan penting di lingkungan pemerintah daerah karena hal ini terkait dengan dampak anggaran terhadap kinerja pemerintah yaitu sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan penelitian di bidang anggaran pada pemerintah daerah menjadi relevan dan penting.
Masyarakat mengharapkan adanya peningkatan pelayanan di berbagai sektor terutama sektor publik dalam era desentralisasi fiskal. Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila upaya serius dari pemerintah untuk memberikan fasilitas pendukung (investasi). Konsekuensinya, pemerintah perlu untuk memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini, dalam hal ini erat kaitannya dengan belanja langsung. Desentralisasi fiskal di satu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah, tetapi disisi lain memunculkan persoalan bam, dikarenakan tingkat kesiapan fisakal daerah yang berbeda-beda.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian dari Dana Bagi Hasil (DBH) yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Di samping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan Iain-lain pendapatan. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Seharusnya dana transfer dari pemerintah pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh pemerintah daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel. Pemerintah dalam perkembangannya memberikan dana perimbangan untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal dan adanya kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar. Salah satu komponen dana perimbangan tersebut adalah dana alokasi umum.
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah, adanya konsekuensi penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat.
Pendapatan Asli Daerah merupakan cermin kemandirian suatu daerah dan penerimaan murni daerah yang merupakan modal utama bagi daerah dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Dalam menjalankan otonomi daerah kabupaten/kota di X dituntut untuk mampu meningkatkan PAD yang merupakan tolak ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah.
Hampir semua provinsi dan kabupaten dan kota di Indonesia memiliki masalah ketimpangan fiskal. Provinsi X yang terdiri atas 19 kabupaten/kota merupakan salah satu provinsi yang memiliki masalah ketimpangan fiskal dalam sumber pendanaan dari PAD pada beberapa kabupaten dan kota. Ketimpangan fiskal dalam hal ini daerah tidak mampu mencukupkan belanja dan biaya daerah melalui sumber pendanaan asli daerah secara murni. Dengan demikian, tingkat ketergantungan pemerintah daerah cukup tinggi terhadap pemerintah pusat.
Fenomena utama dari penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar kontribusi DAU dan PAD terhadap Belanja Langsung. Total DAU dan PAD di provinsi X terus meningkat dari tahun ke tahun dan bersamaan dengan itu terjadi pula peningkatan belanja langsung.

* tabel sengaja tidak ditampilkan

Melihat semakin meningkatnya jumlah DAU dan PAD dari tahun ke tahun yang diiringi dengan peningkatan belanja langsung yang ada di provinsi X maka penulis ingin melihat apakah peningkatan DAU dan PAD tersebut berpengaruh terhadap peningkatan belanja langsung.
Terkait dengan hal ini, Sihite (2009) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai pengaruh terhadap belanja langsung dengan sampel pemerintahan kab/kota di X. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa secara parsial DAK, PAD dan DBH masing-masing berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung sedangkan secara simultan ketiga variabel independen berpengaruh positif terhadap belanja langsung secara bersama-sama. Penelitian terdahulu memiliki keterbatasan dimana penggunaan sampel penelitian hanya terbatas pada kab/kota di X. Oleh karena keterbatasan penelitian terdahulu tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian replikasi dengan mengambil sampel pada pemerintahan kab/kota di X.
Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk membuat suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul "Pengaruh Dana Alokasi Umum Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota Di X."

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah penelitian yang akan dibahas adalah : "Apakah Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Belanja Langsung secara simultan maupun parsial di Pemerintah Kabupaten/Kota di X?"

C. Batasan Penelitian
Batasan dalam penelitian ini bertujuan untuk membatasi cakupan penelitian, yaitu:
a. Batasan aspek dalam penelitian ini, hanya mencakup Akuntansi Keuangan Daerah saja dengan melihat DAU, PAD dan Belanja Langsung sebagai salah satu kriteria kesiapan Pemerintah Kabupaten/Kota di X dalam melaksanakan otonomi daerah.
b. Batasan lokasi dalam penelitian ini adalah hanya pada 10 Kabupaten/Kota di X.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Belanja Langsung secara simultan maupun parsial di Pemerintahan Kabupaten/Kota di X.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
a. Bagi Peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pengaruh dana alokasi umum dan pendapat asli daerah terhadap belanja langsung di Pemerintah Kabupaten/Kota di X.
b. Bagi kabupaten dan kota, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk melihat kemampuan daerah mengelola sumber daya dan untuk digunakan membiayai aktivitas Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun APBD.
c. Bagi peneliti lainnya, dapat menjadi bahan referensi dalam melakukan penelitian sejenis.

E. Kerangka Konseptual dan Hipotesis
1. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan sistensi atau ekstrapolasi dari tinjauan teori yang mencerminkan keterkaitan antar variabel yang diteliti dan merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta memmuskan hipotesis. Jadi kerangka konseptual berguna dalam menjelaskan tentang alasan atau argumentasi yang menjadi dasar perumusan variabel penelitian dan merupakan tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel atau pun masalah yang ada dalam peneliti.
Penelitian ini menggunakan dua variabel independen yaitu DAU (X1) dan PAD (X2) serta satu variabel dependen yaitu belanja langsung (Y). DAU dan PAD merupakan sumber dana yang mencirikan otonomi daerah yang sesungguhnya yang di alokasikan sebagian untuk belanja langsung.
2. Hipotesis Penelitian
Hipotesis menurut Erlina (2007:41), menyatakan hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel atau lebih dalam hubungan preposisi yang dapat diuji secara empiris. Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual yang diuraikan sebelumnya dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1 : DAU berpengaruh terhadap Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota di X
H2 : PAD berpengaruh terhadap Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota di X.
H3 : DAU dan PAD secara bersama-sama berpengaruh terhadap Belanja Langsung Pemerintahan Kabupaten/Kota di X.

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMBERLAKUAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN X

(KODE : EKONAKUN-0067) : SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMBERLAKUAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 33 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi sudah mulai efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Undang-undang tersebut merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya.
Desentralisasi melahirkan otonomi daerah yang bertujuan untuk memaksimalkan pelayanan dan lebih mendekatkan fungsi pemerintahan kepada masyarakat. Kebijakan otonomi daerah yang dirancangkan pemerintah pusat tangal 1 januari 2001 menciptakan terbentuknya pemerintah daerah otonom di Indonesia yang diharapkan mampu meningkatkan percepatan pembangunan dalam usaha pencapaian tujuan negara yaitu masyarakat adil dan makmur. Sebagaimana yang telah dikemukan oleh Bratakusumah dan Solihin (2004) :
"Bahwa setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan saran serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Untuk itu sangat dibutukan regulasi dalam manajemen keuangan pemerintah yang profesional".
Dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 nuansa akuntansi mulai diperkenalkan dalam sistem manajemen keuangan daerah. Secara beruntun, pemerintah dalam rangka reformasi manajemen keuangan daerah mengeluarkan PP.No 105 Tahun 2005 Tentang Pengolahan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah sekaligus memberlakukan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan Pendekatan Kinerja.
Melalui PP.No 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No.29 Tahun 2002 yang sekarang telah diganti menjadi Permendagri No. 13 tahun 2006, Pemerintah melakukan perubahan-perubahan besar. Perubahan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan mendasar dalam PP No. 105 tahun 2000 terutama dalam sistem penganggaran dari sistem tradisional menjadi sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budget) yang diikuti perubahan dalam bentuk dan struktur APBD. Selain itu, laporan Pertanggungjawaban kepala daerah yang dahulunya menggunakan instrumen tunggal yaitu nota perhitungan APBD diubah menjadi laporan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan keuangan daerah yang terdiri dari empat instrumen, yaitu neraca, laporan arus kas, laporan perhitungan APBD dan nota Perhitungan APBD.
Perubahan juga dapat dilihat pada Anggaran Rutin Pembangunan Pemerintahan daerah Kabupaten X sebelum dan sesudah menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja pada tahun 2001 (sebelum) dan 2003 (sesudah) yang tersaji pada tabel 1.2 sebagai berikut:

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Analisis prestasi dalam hal ini adalah kinerja dari pemerintah daerah itu sendiri dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan sumbersumber ekonomis daerah untuk memenuhi seluas-luasnya kebutuhan masyarakat di daerah. Konsep kinerja pemerintah daerah yang merupakan otonom daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik (good governance).
Proses penyusunan anggaran sektor publik umumnya disesuaikan dengan peraturan lembaga yang lebih tinggi. Sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, lahirlah tiga paket perundang-undangan, yaitu UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang telah membuat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengaturan keuangan, khususnya Perencanaan dan Anggaran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Kemudian, saat ini keluar peraturan bam yaitu PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang akan menggantikan Kepmendagri nomor 29 tahun 2002.
Dalam reformasi anggaran tersebut, proses penyusunan APBD diharapkan menjadi lebih partisipatif. Hal tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pasal 17 ayat 2, yaitu dalam menyusun arah dan kebijakan umum APBD diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman pada rencana strategis daerah dan dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan daerah, serta pokok-pokok kebijakan nasioanal dibidang keuangan daerah. Selain itu sejalan dengan yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang perimbangan keuangan negara akan pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik agar penggunaan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya oleh masyarakat.
Undang-undang Nomor 17 menetapkan bahwa APBD disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk mendukung kebijakan ini perlu perlu dibangun suatu sistem yang dapat menyediakan data dan informasi untuk menyusun APBD dengan pendekatan kinerja. Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Adapun kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan publik, tetapi dalam mengimplementasikan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 tersebut masih banyak pemerintah daerah yang mengalami kesulitan karena kurangnya pelatihan dan pendampingan dari pemerintah pusat. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa belanja aparatur lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik. Rencananya tahun depan Permendagri 13/2006 sudah akan mulai efektif dilaksanakan.
Peneliti memilih judul pemerintahan daerah kabupaten X sebagai Objek penelitian karena telah diterapkannya sistem anggaran berbasis kinerja di pemerintah ini. Sistem ini hendaknya semakin baik hingga dapat sejalan dengan peningkatan kinerja pemerintahan. Tetapi masih terdapat pertentangan tujuan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja. Anggaran yang disusun sangat erat kaitannya dengan publik (masyarakat). Pemerintahan daerah dituntut untuk mampu mengelolah keuangannya dengan prinsip pengukuran kinerja (value for money). Hal ini penting untuk dievaluasi mengingat sudah banyaknya peraturan tertulis yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat sampai pada kebijakan pemerintah daerah itu sendiri. Realisasi dari anggaran berbasis kinerja diharapkan mampu menghilangkan pandangan negatif masyarakat mengenai kinerja pemerintahan daerah. Kondisi ini menarik bagi peneliti untuk mencari tahu Apakah Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Berpengaruh Terhadap peningkatan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: "apakah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja mempunyai pengaruh terhadap kinerja keuangan daerah kabupaten X?"

C. Batasan Penelitian
Kinerja keuangan pemerintahan daerah bisa dinilai dari aspek finansial dan non finansial. Dalam penelitian ini hanya dianalisis berdasarkan aspek non finansial yaitu Kinerja manajerial dengan menganalisis SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terdapat pada Pemerintahan Daerah X.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Bagi Penulis
Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan penulis dalam bidang akuntansi, khususnya yang berkaitan dengan pemberlakukan anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan daerah.
2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten X
Penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dan sebagai tambahan bahan referensi juga perbaikan kinerja keuangan dimasa yang akan datang.
3. Bagi Fakultas Ekonomi Universitas X
Sebagai bahan referensi dan bacaan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
4. Bagi Pihak Lain
Sebagai bahan perbandingan yang berguna dalam menambah pengetahuan, khususnya yang berminat dengan pembahasan mengenai pengaruh anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan Pemerintah daerah.

Senin, 13 Juni 2011

TESIS SINERGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

(KODE : PASCSARJ-0107) : TESIS SINERGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PRODI : MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK)




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini, Pemerintah dan Pemerintah Daerah di Indonesia masih menghadapi permasalahan kemiskinan yang bersifat multidimensional. Kemiskinan menjadi sebab dan akibat dari lingkaran setan (vicious cyrcle)-rangkaian permasalahan pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Kondisi tersebut digambarkan dengan masih tingginya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran terbuka, serta masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Indonesia) Indonesia dibanding mayoritas negara-negara lain. Kualitas sumber daya manusia ditandai oleh indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI). Indeks pembangunan manusia merupakan indikator komposit status kesehatan yang dilihat dari angka harapan hidup saat lahir, taraf pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf penduduk dewasa dan gabungan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar, menengah, tinggi, serta taraf perekonomian penduduk yang diukur dengan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita dengan paritas daya beli.
Merujuk data dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, perkembangan jumlah penduduk miskin, jumlah pengangguran, dan indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia antara tahun 2004-2009 sebagai berikut:

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Berdasarkan data dalam Surat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas, P3AKB) Kota X Nomor 511.1/662/VIII/2009 tentang Permohonan Alokasi Raskin Bulan Agustus 2009; dan data Bagian Administrasi Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota X, diketahui bahwa Rumah Tangga Sasaran (RTS) penerima raskin : tahun 2008 sebanyak 26.521 KK, tahun 2009 sebanyak 22.729 KK dan tahun 2010 sebanyak 21.954 KK yang terdiri dari 11.251 rumah tangga hampir miskin, 7.135 rumah tangga miskin, dan 3.568 rumah tangga sangat miskin. Merujuk data dari Bappeda Kota X dan Bapermas, P3AKB Kota X, bahwa jumlah penduduk miskin di Kota X pada tahun 2009 mencapai 104.988 jiwa, ditambah jumlah gakin di Panti Sosial, Diffabel, total penduduk miskin di Kota X sebanyak 106.389 jiwa.
Untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia, berbagai program penanggulangan kemiskinan telah digulirkan oleh Pemerintah sejak era Orde Baru hingga saat ini. Beberapa program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang pernah dilaksanakan yaitu : Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Industri Kecil (KIK), Kredit Candak Kulak (KCK), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Padat Karya, Jaring Pengaman Sosial- Program Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (JPS-PDMDKE), Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD), P4K, TPSP-KUD, Unit Ekonomi Desa dan Simpan Pinjam (UEDSP), Pengembangan Kawasan Terpadu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (Kabinet Indonesia Bersatu I), Pemerintah menetapkan salah satu prioritas dan arah kebijakan pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, khususnya berkaitan dengan agenda peningkatan kesejahteraan masyarakat, salah satu sasarannya yaitu : menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8,2% dan pengurangan pengangguran menjadi 5,1% dari total angkatan kerja pada tahun 2009.
Pemerintah meluncurkan tiga kelompok (kluster) program penanggulangan. Dalam materi presentasi Deputi Menkokesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (2008) yang berjudul "Harmonisasi Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat" dan Buletin Sambung Hati 9949 edisi bulan November 2009, terdapat tiga kluster program untuk penanggulangan kemiskinan yaitu :
1. Program-Program dalam kluster program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Kelompok program ini bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin. Program ini dianalogikan dengan pemberian ikan kepada masyarakat miskin dan kelompok rentan lainnya seperti kaum miskin, lansia, korban bencana dan konflik, penyandang cacat, komunitas adat terkecil, yang jumlahnya 19,1 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS) secara nasional. Program-program dalam Kluster ini meliputi : Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rumah Tangga Miskin (Raskin), Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) atau Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan untuk Pengungsi/Korban Bencana, Bantuan untuk Penyandang Cacat dan Bantuan untuk Kelompok Lansia. Bantuan untuk Penyandang Cacat diberikan kepada penyandang cacat permanen, dalam arti tidak dapat menghidupi diri sendiri dan sepenuhnya tergantung kepada orang lain dalam melakukan aktivitas. Pemerintah memberikan bantuan dana jaminan sosial bagi penyandang cacat berat dengan indeks Rp 300.000 per orang per bulan selama 12 bulan. Bantuan pelayanan dan jaminan sosial lansia terlantar diberikan kepada masyarakat yang tidak berdaya secara fisik, ekonomi, dan sosial. Bantuan Lansia dikirim lewat PT POS Indonesia dan para pendamping bertugas mengantar dana bantuan tersebut kepada penerima yang berhak. Pemerintah memberikan bantuan dana jaminan sosial bagi Lansia dengan indeks Rp 300.000 per orang per bulan selama 12 bulan. Anggaran dan Sasaran Program-Program Bantuan dan Perlindungan Sosial tercantum dalam tabel berikut :
2. Program-Program Pemberdayaan Masyarakat. Kluster ini diibaratkan sebagai kail, dimana pemerintah melaksanakan program-program yang tergabung dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM Mandiri yang diluncurkan pemerintah pada 30 April 2007. Melalui Program ini dibangun infrastruktur seperti jalan kampung, jembatan, irigasi, air bersih, sarana pendidikan, sarana kesehatan, bantuan dana bergulir untuk usaha, unit ekonomi produktif (UEP), simpan pinjam perempuan (SPP) dan sebagainya. Anggaran PNPM Mandiri tahun 2007 sebesar Rp 2,794 triliun, tahun 2008 sebesar Rp 5,924 triliun, dan tahun 2009 sebesar Rp 7,647 triliun. Tahun 2008 untuk PNPM Penguatan mencakup 3,999 kecamatan dan 47.954 desa dan Sasaran 500.000 RTSM di Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. 700.000 RTSM 13 provinsi. Enam provinsi tambahan adalah NAD, Sumatera Utara, DIY, Banten, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan.
3. Program UMKM untuk Kemandirian Masyarakat. Dalam upaya mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemerintah melaksanakan program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kluster ini diibaratkan sebagai perahu, di mana UMKM mendapat kredit usaha dari bank-bank milik negara yaitu Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, dan Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin dan Bank BTN. Hingga Oktober 2009 KUR yang telah disalurkan sebesar Rp 8.332.161.000.000 dengan jumlah nasabah 2.236.926 orang. Pada tahun 2008, KUR menciptakan lapangan kerja untuk 4,59 juta orang. Pada tahun 2009 diperkirakan akan membuka lapangan kerja untuk 6 juta orang.
Alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu : pada tahun 2004 mencapai Rp 19 triliun, tahun 2005 meningkat 26.3 % menjadi Rp 24 triliun, tahun 2006 meningkat 70.8 % menjadi Rp 41 triliun, tahun 2007 meningkat 24.4% menjadi Rp 51 triliun dan tahun 2008 meningkat 13.7 % menjadi Rp 58 triliun dan tahun 2009 meningkat 12 % menjadi 66,2 triliun.
Berbagai program penanggulangan kemiskinan dengan dukungan peningkatan anggaran untuk pengentasan kemiskinan yang cukup signifikan sejak tahun 2004 hingga tahun 2009, mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia walaupun tidak secara drastis. Tingkat kemiskinan yang pada tahun 2007 sebesar 16,58 persen, pada tahun 2008 sudah menurun menjadi sebesar 15,42 persen, pada tahun 2009 tingkat kemiskinan menurun lagi menjadi 14,15 persen. Tetapi, target yang ditetapkan dalam RPJMN Tahun 2004-2009 untuk menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8,2% pada tahun 2009 tidak tercapai.
Dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (Kabinet Indonesia Bersatu II), Pemerintah tetap menetapkan salah satu prioritas dan arah kebijakan pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014, sasaran bidang penanggulangan kemiskinan dan pemerataan pembangunan adalah menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sebesar 8-10% pada akhir 2014.
Untuk mencapai sasaran tersebut, arah kebijakan dan prioritas program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan Pemerintah tahun 2010-2014 dalam tabel berikut yaitu : Pertama, meningkatkan pertumbuhan pada sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja dan efektif menurunkan kemiskinan. Kedua, Meningkatkan kualitas dan efektivitas kebijakan dalam rangka mempercepat penurunan kemiskinan. Ketiga, meningkatkan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah khususnya daerah tertinggal dan korban bencana.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, kelompok program penanggulangan kemiskinan terdiri dari kelompok program : berbasis bantuan dan perlindungan sosial, berbasis pemberdayaan masyarakat, dan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
Untuk menanggulangi kemiskinan di Kota X, beberapa program Pemerintah Pusat yang dilaksanakan antara lain : Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri-Perkotaan (PNPM Mandiri Perkotaan), Program Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (PPFM-BLPS) atau dikenal dengan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE), dan Padat Karya Produktif serta Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Menindaklanjuti pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dan dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, Pemerintah Daerah berperan besar untuk menanggulangi kemiskinan. Pemerintah Daerah dengan didukung stakeholders dan masyarakat, dapat mengembangkan prakarsa untuk menyusun berbagai kebijakan dan melaksanakan program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemerintah Daerah juga dapat berperan dengan menyediakan dana atau program pendamping untuk pelaksanaan program-program dari Pemerintah Pusat.
Beberapa program berbasis pemberdayaan masyarakat yang diluncurkan oleh Pemerintah Kota X meliputi : Program bantuan perbaikan/rehap Rumah Tidak Layak Huni (RTLH); Sanitasi Masyarakat (Sanimas); Bantuan operasional Posyandu Balita dan Lansia; Kegiatan pendidikan ketrampilan, pembangunan tempat usaha, pinjaman modal bergulir untuk koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM); Solo Techno Park; Pengembangan Wisata Kuliner-Galabo, alokasi Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) dan Program Terpadu Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Gender (P2MBG).
Program-program pemberdayaan dari Pemerintah dan Pemerintah Kota X yang dilaksanakan di tingkat kelurahan meliputi : PNPM Mandiri Perkotaan, BLPS- P2FM (KUBE), Bantuan Rehap RTLH, P2MBG, Padat Karya Produktif dan DPK.
Untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kebijakan dalam rangka mempercepat penurunan kemiskinan, salah satunya melalui sinkronisasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, serta harmonisasi antar pelaku. Berbagai program pemberdayaan masyarakat dari Pemerintah dan Pemerintah Kota X memerlukan sinergi baik dalam tataran kebijakan, kelembagaan dan implementasi program. Penanggulangan kemiskinan memerlukan perubahan yang cukup sistemik dan menyeluruh, namun penanganannya selama ini cenderung parsial sektoral, tidak terintegrasi, dan belum sinergis.
Dalam dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota X (2008:3), disebutkan : tindakan penanganan kemiskinan menghadapi permasalahan dan tantangan, antara lain : 1) Indikator atau tolok ukur kriteria penduduk miskin masih banyak perbedaan diantara beberapa SKPD, sehingga data yang dihasilkan juga berbeda. 2) Belum sepenuhnya memberdayakan masyarakat. 3) Terjadi salah sasaran. 4) Tidak optimalnya pengelolaan dana. 5) Usaha yang dipilih tidak berorientasi pasar. 6) Distribusi dana kurang mendasarkan pada kebutuhan nyata. 7) Belum terpadunya pelaksanaan kegiatan. 8) Mental dan perilaku, pola ketergantungan pada bantuan dan lemahnya motivasi untuk melakukan usaha produktif. 9) Perilaku budaya masyarakat yang senang menerima bantuan sehingga apabila ada pendataan untuk bantuan jumlah masyarakat miskin selalu bertambah. 10) Program yang bergulir di masyarakat setelah selesai tidak ada mekanisme monitoring dan evaluasinya. 11) Lemahnya koordinasi masing-masing SKPD saat menyusun intervensi kemiskinan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penelitian tentang Sinergi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Di Kota X relevan dan menarik untuk dilakukan. Program-program pemberdayaan masyarakat yang diteliti mencakup : PNPM Mandiri Perkotaan, KUBE, Bantuan Rehap RTLH, P2MBG, dan DPK.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan menganalisa sinergi kebijakan penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat di Kota X. Secara terperinci, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana kebijakan dan kelembagaan yang mendukung sinergi dalam penanggulangan kemiskinan di Kota X ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk sinergi dalam implementasi program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di tingkat kelurahan di Kota X?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mendeskripsikan kebijakan dan kelembagaan yang mendukung sinergi dalam penanggulangan kemiskinan di Kota X.
2. Mendeskripsikan dan menganalis bentuk-bentuk sinergi dalam implementasi program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di tingkat kelurahan di Kota X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:
1. Manfaat Praktis.
Memberikan rekomendasi untuk sinergi dalam penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di tingkat kelurahan di Kota X.
2. Manfaat Akademik.
Mengembangkan pengetahuan tentang sinergi dalam inplementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang mendasarkan pada kajian teori governance dan teori kolaborasi collaboration. Teori governance merupakan basis teori untuk menjelaskan dan menganalisa sinergi peran antar pelaku (aktor) kebijakan penanggulangan kemiskinan. Teori kolaborasi untuk menjelaskan dan menganalisa bentuk-bentuk sinergi.