adf.ly

Tampilkan postingan dengan label KEBIDANAN KOMUNITAS (ASKEB V). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KEBIDANAN KOMUNITAS (ASKEB V). Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 April 2011

PENGEMBANGAN WAHANA/FORUM PSM BERPERAN DALAM BERBAGAI KEGIATAN KB – KIA

1. Definisi

KB – KIA adalah kegiatan kelompok belajar kesehatan ibu dan anak yang anggotanya meliputi ibu hamil dan menyusui.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

2. Tujuan

a. Tujuan Umum

Agar ibu hamil dan menyusui tahu cara yang baik untuk menjaga kesehatan sendiri dan anaknya, tahu pentingnya pemeriksaan ke puskesmas dan posyandu atau tenaga kesehatan lain pada masa hamil dan menyusui serta adanya keinginan untuk ikut menggunakan kontrasepsi yang efektif dan tepat.

b. Tujuan Khusus

Memberi pengetahuan kepada ibu tentang hygiene perorangan pentingnya menjaga kesehatan, kesehatan ibu untuk kepentingan janin, jalannya proses persalinan, persiapan menyusui dan KB.

3. Kebijakan

a. Kegiatan harus disesuaikan dengan kesehatan ibu dan masalah yang ada.

b. Pelaksanaannya dilakukan setiap minggu dengan materi dasar yang harus di review terus.

c. Metode yang digunakan adalah demonstrasi dengan materi dan pembicara berganti - ganti.

d. Tenaga pelatih atau pengajar adalah orang yang ahli di bidangnya.

e. Tempat pertemuan adalah di ruang tunggu puskesmas, kelurahan atau tempat lain yang dikenal masyarakat.

f. Lamanya pelatihan tiap hari tidak lebih dari 1 jam.

g. Beri teori 20 menit, selebihnya adalah demontrasi

4. Materi Kegiatan

a. Pemeliharaan diri waktu hamil

b. Makanan ibu dan bayi

c. Pencegahan infeksi dengan imunisasi

d. Keluarga Berencana

e. Perawatan payudara dan hygiene perorangan.

f. Rencana persalinan

g. Tanda-tanda persalinan

5. Kegiatan yang dilakukan

a. Pakaian dan perawatan bayi

b. Contoh makanan sehat untuk ibu hamil dan menyusui

c. Makanan bayi

d. Perawatan payudara sebelum dan setelah persalinan

e. Peralatan yang diperlukan ibu hamil dan menyusui

f. Cara memandikan bayi

g. Demontrasi tentang alat kontrsepsi dan cara penggunaanya

6. Pelaksana

a. Pelaksana utama meliputi dokter puskesmas, pengelola KIA, Kader, Bidan.

b. Pelaksana pendukung meliputi camat, kades, pengurus LKMD, tokoh masyarakat.

c. Pelaksana pembina meliputi sub din KIA Propinsi, tim pengelola KIA kabupaten.

7. Faktor Penentu Keberhasilan

a. Faktor manusia

b. Faktor sarana (tempat)

c. Faktor prasarana (fasilitas).

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

PENGEMBANGAN WAHANA/FORUM PSM BERPERAN DALAM BERBAGAI KEGIATAN POLINDES

1. Latar belakang

Dalam rangka mempercepat penurunan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKI) dan angka kelahiran, serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat, salah satu upaya pemerintah adalah mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan mendirikan Posyandu di desa-desa. Pelayanan kesehatan di Posyandu tersebut meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), imunisasi, perbaikan gizi dan penanggungalan diare. Namun karena keterbatasan yang ada di Posyandu, maka pelayanan kesehatan bagi ibu tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu, sebagai bagian dari pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Keluarga Berencana (KB) maka didirikan Pondok Bersalin Desa (Polindes) yang dikelola oleh bidan di desa bekerjasama dengan dukun bayi, serta dibawah pengawasan dokter Puskesmas setempat.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

Pengembangan pelayanan kesehatan di posyandu meliputi : KIA, KB, imunisasi, perbaikan gizi dan penanggulangan diare mempunyai kontribusi terhadap penurunan AKB dan anak balita. Adanya keterbatasan dalam pelayanan posyandu yaitu pelayanan kesehatan bagi ibu tidak dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga perlu diupayakan peningkatan pelayanan kesehatan ibu melalui polindes. Adanya kebijakan dari Departemen Kesehatan untuk menempatkan tenaga bidan di desa di bawah pembinaan dokter puskesmas.

2. Pengertian polindes

Merupakan salah satu bentuk UKBM (Usaha Kesehatan Bagi Masyarakat) yang didirikan masyarakat oleh masyarakat atas dasar musyawarah, sebagai kelengkapan dari pembangunan masyarakat desa, untuk memberikan pelayanan KIA-KB serta pelayanan kesehatan lainnya sesuai dengan kemampuan Bidan.

3. Kajian makna polindes

a. Polindes merupakan salah satu bentuk PSM dalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan pelayanan KIA, termasuk KB di desa.

b. Polindes dirintis di desa yang telah mempunyai bidan yang tinggal di desa tersebut.

c. PSM dalam pengembangan polindes dapat berupa penyediaan tempat untuk pelayanan KIA (khususnya pertolongan persalinan), pengelolaan polindes, penggerakan sasaran dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas bidan di desa.

d. Peran bidan desa yang sudah dilengkapi oleh pemerintah dengan alat-alat yang diperlukan adalah memberikan pelayanan kebidanan kepada masyarakat di desa tersebut.

e. Polindes sebagai bentuk PSM secara organisatoris berada di bawah seksi 7 LKMD, namun secara teknis berada di bawah pembinaan dan pengawasan puskesmas.

f. Tempat yang disediakan oleh masyarakat untuk polindes dapat berupa ruang/kamar untuk pelayanan KIA, termasuk tempat pertolongan persalinan yang dilengkapi dengan sarana air bersih.

g. Tanggung jawab penyediaan dan pengelolaan tempat serta dukungan opersional berasal dari masyarakat, maka perlu diadakan kesepakatan antara wakil masyarakat melalui wadah LKMD dengan bidan desa tentang pengaturan biaya operasional dan tarif pertolongan persalinan di polindes.

h. Dukun bayi dan kader posyandu adalah kader masyarakat yang paling terkait.

4. Persyaratan polindes

a. Tersedianya bidan di desa yang bekerja penuh untuk mengelola polindes.

b. Tersedianya sarana untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi Bidan, antara lain bidan kit, IUD kit, sarana imunisasi dasar dan imunisasi ibu hamil, timbangan, pengukur Tinggi Badan, Infus set dan cairan D 5 %, NaCl 0,9 %, obat - obatan sederhana dan uterotonika, buku-buku pedoman KIA, KB dan pedoman kesehatan lainnya, inkubator sederhana.

c. Memenuhi persyaratan rumah sehat, antara lain penyediaan air bersih, ventilasi cukup, penerangan cukup, tersedianya sarana pembuangan air limbah, lingkungan pekarangan bersih, ukuran minimal 3 x 4 m2.

d. Lokasi mudah dicapai dengan mudah oleh penduduk sekitarnya dan mudah dijangkau oleh kendaraan roda 4.

e. Ada tempat untuk melakukan pertolongan persalinan dan perawatan postpartum minimal 1 tempat tidur.

5. Tujuan polindes

a. Meningkatnya jangkauan dan mutu pelayanan KIA-KB termasuk pertolongan dan penanganan pada kasus gagal.

b. Meningkatnya pembinaan dukun bayi dan kader kesehatan.

c. Meningkatnya kesempatan untuk memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan bagi ibu dan keluarganya.

d. Meningkatnya pelayanan kesehatan lainnya sesuai dengan kewenangan bidan.

6. Fungsi polindes

a. Sebagai tempat pelayanan KIA-KB dan pelayanan kesehatan lainnya.

b. Sebagai tempat untuk melakukan kegiatan pembinaan, penyuluhan dan konseling KIA.

c. Pusat kegiatan pemberdayaan masyarakat.

7. Kegiatan-kegiatan polindes

a. Memeriksa kehamilan, termasuk memberikan imunisasi TT pada bumil dan mendeteksi dini resiko tinggi kehamilan.

b. Menolong persalinan normal dan persalinan dengan resiko sedang.

c. Memberikan pelayanan kesehatan ibu nifas dan ibu menyusui.

d. Memberikan pelayanan kesehatan neonatal, bayi, anak balita dan anak pra sekolah, serta imunisasi dasar pada bayi.

e. Memberikan pelayanan KB.

f. Mendeteksi dan memberikan pertolongan pertama pada kehamilan dan persalinan yang beresiko tinggi baik ibu maupun bayinya.

g. Menampung rujukan dari dukun bayi dan dari kader (posyandu, dasa wisma).

h. Merujuk kelainan ke fasilitas kesehatan yang lebih mampu.

i. Melatih dan membina dukun bayi maupun kader (posyandu, dasa wisma).

j. Memberikan penyuluhan kesehatan tentang gizi ibu hamil dan anak serta peningkatan penggunaan ASI dan KB.

k. Mencatat serta melaporkan kegiatan yang dilaksanakan kepada puskesmas setempat.

8. Indikator polindes

a. Fisik

Bangunan polindes tampak bersih, tidak ada sampah berserakan, lingkungan yang sehat, polindes jauh dari kandang ternak, mempunyai ruangan yang cukup untuk pemeriksaan kehamilan dan pelayanan KIA, mempunyai ruangan untuk pertolongan persalinan, tempat yang bersih dengan aliran udara/ventilasi yang baik dan terjamin, mempunyai perabotan dan alat-alat yang memadai untuk pelaksanaan pelayanan.

b. Tempat tinggal bidan di desa

Keberadaan bidan secara terus menerus/menetap menentukan efektivitas pelayanan, termasuk efektifitas polindes, jarak tempat tinggal bidan yang menetap di desa dengan polindes akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan di polindes, bidan yang tidak tinggal di desa dianggap tidak mungkin melaksanakan pelayanan pertolongan persalinan di desa.

c. Pengelolaan polindes

Pengelolaan polindes yang baik akan menentukan kualitas pelayanan sekaligus pemanfaatan pelayanan oleh masyarakat. Kriteria pengelolaan polindes yang baik adalah keterlibatan masyarakat melalui wadah kemudian dalam menentukan tarif pelayanan maka tarif yang ditetapkan secara bersama, diharapkan memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memanfaatkan polindes, sehingga dapat meningkatkan cakupan dan sekaligus dapat memuaskan semua pihak.

d. Cakupan persalinan

Pemanfaatan pertolongan persalinan merupakan salah satu mata rantai upaya peningkatan keamanan persalinan, tinggi rendahnya cakupan persalinan dipengaruhi banyak faktor, diantaranya ketersediaan sumber dana kesehatan, termasuk di dalamnya keberadaan polindes beserta tenaga profesionalnya yaitu bidan di desa, dihitung secara komulatif selama setahun, meningkatnya cakupan persalinan yang ditolong di polindes selain berpengaruh terhadap kualitas pelayanan ibu hamil sekaligus mencerminkan kemampuan bidan itu sendiri, baik di dalam kemampuan teknis medis maupun di dalam menjalin hubungan dengan masyarakat.

e. Sarana air bersih

Polindes dianggap baik apabila telah tersedia air bersih yang dilengkapi dengan MCK, tersedia sumber air (sumur, pompa, PDAM) dan dilengkapi pula dengan SPAL.

f. Kemitraan bidan dan dukun bayi.

Merupakan hal yang dianjurkan dalam pelayanan pertolongan persalinan di polindes, dihitung secara komulatif selama setahun.

g. Dana sehat

Sebagai wahana memandirikan masyarakat untuk hidup sehat yang pada gilirannya diharapkan akan mampu melestarikan berbagai jenis upaya kesehatan bersumber daya masyarakat setempat untuk itu perlu dikembangkan ke seluruh wilayah/kelompok sehingga semua penduduk terliput dana sehat.

h. Kegiatan KIE untuk kelompok sasaran

KIE merupakan salah satu teknologi peningkatan PSM yang bertujuan untuk mendorong masyarakat agar mau dan mampu memelihara serta melaksanakan hidup sehat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, melalui jalinan komunikasi, informasi dan edukasi yang bersifat praktis dengan keberadaan polindes beserta bidan di tengah-tengah masyarakat diharapkan akan terjalin interaksi antara bidan dan masyarakat. Interaksi dengan intensitas dan frekwensi yang cukup tinggi akan dapat mengatasi kesenjangan informasi kesehatan. Semakin sering bidan menjalankan KIE akan semakin mendorong masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup sehatnya termasuk di dalam meningkatkan kemampuan dukun bayi sebagai mitra kerja di dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil. KIE untuk kelompok sasaran seharusnya dilakukan minimal sekali setiap bulannya dihitung secara komulatif selama setahun.

9. Kategori tingkat perkembangan polindes

a. Pratama.

1) Fisik : belum ada bangunan tetap, belum memenuhi syarat.

2) Tempat tinggal bidan : tidak tinggal di desa yang bersangkutan.

3) Pengelolaan polindes : tidak ada kesepakatan.

4) Cakupan persalinan di polindes : <10 %.

5) Sarana air bersih : tersedia air bersih, tapi belum dilengkapi sumber air dan MCK.

6) Cakupan kemitraan bidan dan dukun bayi : <25 %.

7) Kegiatan KIE untuk kelompok sasaran : <6 kali.

8) Dana sehat/JPKM : <50 %.

b. Madya.

1) Fisik : belum ada bangunan tetap, memenuhi syarat.

2) Tempat tinggal bidan : > 3 km.

3) Pengelolaan polindes : ada, tidak tertulis.

4) Cakupan persalinan di polindes : 10 – 15 %.

5) Sarana air bersih : tersedia air bersih, belum ada sumber air, tapi ada MCK.

6) Cakupan kemitraan bidan dan dukun bayi : 25 – 49 %.

7) Kegiatan KIE untuk kelompok sasaran : 6 – 8 kali.

8) Dana sehat/JPKM : < 50 %.

c. Purnama.

1) Fisik : ada bangunan tetap, belum memenuhi syarat.

2) Tempat tinggal bidan : 1 – 3 km.

3) Pengelolaan polindes : ada dan tertulis.

4) Cakupan persalinan di polindes : 20 – 29 %.

5) Sarana air bersih : tersedia air bersih, sumber air dan MCK.

6) Cakupan kemitraan bidan dan dukun bayi : 50 – 74 %.

7) Kegiatan KIE untuk kelompok sasaran : 9 – 12 kali.

8) Dana sehat/JPKM : < 50 %.

d. Mandiri.

1) Fisik : ada bangunan tetap, memenuhi syarat.

2) Tempat tinggal bidan : < 1 km.

3) Pengelolaan polindes : ada dan tertulis.

4) Cakupan persalinan di polindes : > 30 %.

5) Sarana air bersih : tersedia air bersih, sumber air, MCK dilengkapi SPAL.

6) Cakupan kemitraan bidan dan dukun bayi : < 75 %.

7) Kegiatan KIE untuk kelompok sasaran : < 12 kali.

8) Dana sehat/JPKM : ≥ 50 %.

10. Prinsip-prinsip polindes

a. Merupakan bentuk UKBM di bidang KIA-KB.

b. Polindes dapat dirintis di desa yang telah mempunyai bidan yang tinggal di desa.

c. Memiliki tingkat peran serta masyarakat yang tinggi, berupa penyediaan tempat untuk pelayanan KIA, khususnya pertolongan persalinan, pengelolaan polindes, penggerakan sasaran dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas bidan di desa.

d. Dalam pembangunan fisik polindes dapat berupa ruang/ kamar yang memenuhi persyaratan sehat, dilengkapi sarana air bersih, maupun peralatan minimal yang dibutuhkan.

e. Kesepakatan dengan masyarakat dalam hal tanggung jawab penyediaan dan pengelolaan tempat, dukungan operasional dan tarif pelayanan kesehatan di polindes.

f. Menjalin kemitraan dengan dukun bayi.

g. Adanya polindes tidak berarti bidan hanya memberi pelayanan di dalam gedung.

11. Unsur-unsur polindes

a. Adanya bidan di desa.

b. Bangunan atau ruang untuk pelayanan KIA-KB dan pengobatan sederhana.

c. Adanya partisipasi masyarakat

12. Kebijakan penempatan bidan di desa

Membantu penurunan AKI/AKB akibat komplikasi obstetri, khususnya AKP/AKN, dengan mengatasi berbagai kesenjangan :

Kesenjangan geografis (mendekatkan pelayanan KIA-KB, kesenjangan informasi, kesenjangan sosial budaya, kesenjangan ekonomi.

13. Yang harus dilakukan oleh bidan

a. Membangun kemitraan dengan masyarakat, tokoh masyarakat, dukun bayi, dll.

b. Meningkatkan profesionalisme.

c. Memobilisasi pendanaan masyarakat dalam bentuk tabulin (tabungan ibu bersalin).

d. Mendorong kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan

14. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya pemanfaatan polindes

a. Kurangnya promosi.

b. Kurangnya rasa memiliki.

c. Rendahnya partisipasi aparat desa.

d. Fungsi polindes tak memenuhi harapan masyarakat, disamping faktor teknis lain, dimana pengalaman bidan yang masih minimal.

Referensi :

Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI. Jakarta.

Depkes. (2007). Kurikulum dan Modul Pelatihan Bidan Poskesdes dan Pengembangan Desa Siaga. Depkes. Jakarta.

Effendy Nasrul. (1998). Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. EGC. Jakarta.

UU no 23 tahun 1992 tentang kesehatan

Syahlan, J.H. (1996). Kebidanan Komunitas. Yayasan Bina Sumber Daya Kesehatan.

Widyastuti, Endang. (2007). Modul Konseptual Frame work PWS-KIA Pemantauan dan Penelusuran Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Neonatal. Unicef.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

PENGEMBANGAN WAHANA/FORUM PSM BERPERAN DALAM BERBAGAI KEGIATAN POSYANDU

Posyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan. Jadi, Posyandu merupakan kegiatan swadaya dari masyarakat di bidang kesehatan dengan penanggung jawab kepala desa. A.A. Gde Muninjaya (2002:169) mengatakan : ”Pelayanan kesehatan terpadu (yandu) adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja Puskesmas. Tempat pelaksanaan pelayanan program terpadu di balai dusun, balai kelurahan, RW, dan sebagainya disebut dengan Pos pelayanan terpadu (Posyandu)”. Konsep Posyandu berkaitan erat dengan keterpaduan. Keterpaduan yang dimaksud meliputi keterpaduan dalam aspek sasaran, aspek lokasi kegiatan, aspek petugas penyelenggara, aspek dana dan lain sebagainya. (Departemen kesehatan, 1987:10).

Posyandu dimulai terutama untuk melayani balita (imunisasi, timbang berat badan) dan orang lanjut usia (Posyandu Lansia), dan lahir melalui suatu Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri), Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Ketua Tim Penggerak (TP) Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan dicanangkan pada sekitar tahun 1986. Legitimasi keberadaan Posyandu ini diperkuat kembali melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tertanggal 13 Juni 2001 yang antara lain berisikan “Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu” yang antara lain meminta diaktifkannya kembali Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) Posyandu di semua tingkatan administrasi pemerintahan. Penerbitan Surat Edaran ini dilatarbelakangi oleh perubahan lingkungan strategis yang terjadi demikian cepat berbarengan dengan krisis moneter yang berkepanjangan.Posyandu merupakan salah satu UKBM yang sudah sangat luas dikenal di masyarakat dan telah masuk dalam bagian keseharian kehidupan sosial di pedesaan maupun perkotaan.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

1. Pengertian

a. Suatu forum komunikasi, alih teknologi dan pelayanan kesehatan masyarakat oleh dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis dalam mengembangkan sumber daya manusia sejak dini.

b. Pusat kegiatan masyarakat dalam upaya kesehatan dan keluarga berencana (Nasrul Effendi : 1998).

c. Kegiatan posyandu merupakan kegiatan nyata yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan dari masyarakat, yang dilaksanakan oleh kader-kader kesehatan yang telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan dari puskesmas mengenai pelayanan kesehatan dasar (Nasrul Effendi : 1998).

d. Posyandu adalah pusat pelayanan keluarga berencana dan kesehatan yang dikelola dan diselenggarakan untuk dan oleh masyarakat dengan dukungan teknis dari petugas kesehatan dalam rangka pencapaian NKBBS (Nasrul Effendi : 1998).

2. Tujuan posyandu

a. Mempercepat penurunan angka kematian ibu dan anak.

b. Peningkatan pelayanan kesehatan ibu untuk menurunkan IMR (Infant Mortality Rate/Angka Kematian Bayi).

c. Mempercepat penerimaan NKKBS.

d. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan kegiatan- kegiatan lain yang menunjang peningkatan kemampuan hidup sehat.

e. Pendekatan dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam usaha meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada penduduk berdasarkan letak geografi.

f. Peningkatan dan pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka alih teknologi untuk swakelola usaha-usaha kesehatan masyarakat.

3. Sasaran posyandu

a. Bayi berusia kurang dari 1 tahun.

b. Anak balita usia 1 – 5 tahun.

c. Ibu hamil.

d. Ibu menyusui.

e. Ibu nifas.

f. Wanita usia subur.

4. Kegiatan posyandu

a. Lima (5) kegiatan posyandu (panca krida posyandu)

1) Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

2) Keluarga Berencana (KB)

3) Imunisasi

4) Peningkatan Gizi

5) Penanggulangan Diare.

b. Tujuh (7) kegiatan posyandu (sapta krida posyandu)

1) Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

2) Keluarga Berencana (KB)

3) Imunisasi

4) Peningkatan Gizi

5) Penanggulangan Diare

6) Sanitasi Dasar

7) Penyediaan Obat Essensial

8) Pembentukan Posyandu

5. Pembentukan Posyandu

a. Posyandu dibentuk dari pos-pos yang telah ada seperti pos penimbangan balita, pos immunisasi, pos keluarga berencana, pos kesehatan, pos lainnya yang bentuk baru.

b. Persyaratan posyandu

1) Penduduk RW tersebut paling sedikit terdapat 100 orang balita.

2) Terdiri dari 120 kepala keluarga.

3) Disesuaikan dengan kemampuan petugas (bidan desa).

4) Jarak antara kelompok rumah, jumlah KK dalam 1 tempat atau kelompok tidak terlalu jauh.

c. Alasan pendirian posyandu

1) Posyandu dapat memberikan pelayanan kesehatan khususnya dalam upaya pencegahan penyakit dan pertolongan pertama pada kecelakaan sekaligus dengan pelayanan KB.

2) Posyandu dari masyarakat untuk masyarakat dan oleh masyarakat sehingga menimbulkan rasa memiliki masyarakat terhadap upaya dalam bidang kesehatan dan keluarga berencana.

6. Penyelenggara posyandu

a. Pelaksana kegiatan adalah anggota masyarakat yang telah dilatih menjadi kader kesehatan setempat di bawah bimbingan puskesmas.

b. Pengelola posyandu adalah pengurus yang dibentuk oleh ketua RW yang berasal dari kader PKK, tokoh masyarakat formal dan informal serta kader kesehatan yang ada di wilayah tersebut.

7. Lokasi/letak posyandu

a. Berada di tempat yang mudah didatangi oleh masyarakat.

b. Ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.

c. Dapat merupakan lokal tersendiri.

d. Bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan di rumah penduduk, balai rakyat, pos RT/RW atau pos lainnya.

8. Pelayanan Posyandu

a. Pelayanan kesehatan yang dijalankan

1) Pemeliharaan kesehatan bayi dan balita

2) Penimbangan bulanan

3) PMT yang berta badannya kurang

4) Immunisasi bayi 3-14 bulan

5) Pemberian oralit yang menanggulangi diare

6) Pengobatan penyakit sebagai pertolongan pertama

b. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan pasangan usia subur

1) pemeriksaan kesehatan umum

2) Pemeriksaan kehamilan dan nifas

3) Pelayanan peningkatan gizi melalui pemberian vitamin dan pil penambah darah

4) Immnunisasi TT untuk ibu hamil

5) Peyuluhan kesehatan dan KB

6) Pemberian alat kontrasepsi KB

7) Pemberian oralit pada ibu yang terkena diare

8) Pengobatan penyakit sebagai pertolongan pertama

9) Pertolongan petama pada kecelakaan

9. Sistem informasi di posyandu (sistem lima meja)

a. Meja I

Layanan meja I merupakan layanan pendaftaran, kader melakukan pendaftaran pada ibu dan balita yang datang ke Posyandu. Alur pelayanan posyandu menjadi terarah dan jelas dengan adanya petunjuk di meja pelayanan. Petunjuk ini memudahkan ibu dan balita saat datang, sehingga antrian tidak terlalu panjang atau menumpuk di satu meja.

b. Meja II

Layanan meja II merupakan layanan penimbangan.

c. Meja III

Kader melakukan pencatatan pada buku KIA setelah ibu dan balita mendaftar dan di timbang. Pencatatan dengan mengisikan berat badan balita ke dalam skala yang di sesuaikan dengan umur balita. Di atas meja terdapat tulisan yang menunjukan pelayanan yang di berikan.

d. Meja IV

Diketahuinya berat badan anak yang naik atau yang tidak naik, ibu hamil dengan resiko tinggi, pasangan usia subur yang belum mengikuti KB, penyuluhan kesehatan, pelayanan PMT, oralit, vitamin A, tablet zat besi, pil ulangan, kondom.

e. Meja V

Pemberian makanan tambahan pada bayi dan balita yang datang ke posyandu dilayani di meja V. Kader menyiapkan nasi, lauk, sayur dan buah-buahan yang akan dibagikan sebelum pelaksanaan Posyandu. Pemberian makanan tambahan bertujuan mengingatkan ibu untuk selalu memberikan makanan bergizi kepada bayi dan balitanya.

Indikator pelayanan di Posyandu atau di Pos Penimbangan Balita menggunakan indiktor-indikator SKDN dimana :

1) S adalah jumlah seluruh balita yang ada dalam wilayah kerja posyandu

2) K adalah jumlah Balita yang ada di wilayah kerja posyandu yang mempunyai KMS ( Kartu Menujuh Sehat)

3) D adalah Jumlah Balita yang datang di posyandu dan menimbang berat badannya

4) N adalah jumlah balita yang ditimbang bebrat badannya mengalami peningkatan bebrat badan dibanding bulannya sebelumnya.

10. Prinsip dasar posyandu

a. Posyandu merupakan usaha masyarakat dimana terdapat perpaduan antara pelayanan profesional dan non prosfesional.

b. Adanya kerjasama lintas program yang baik (KIA, KB, Gizi, Imunisasi, penanggulangan diare) maupun lintas sektoral (Departemen Kesehatan RI, Departemen dalam negeri, BKKBN).

c. Kelembagaan masyarakat (pos desa, kelompok timbang/pos timbang, pos imunisasi, pos kesehatan, dll).

d. Mempunyai sasaran penduduk yang sama (Bayi 0-1 tahun, anak balita 1-5 tahun, ibu hamil, PUS).

e. Pendekatan yang digunakan adalah pengembangan dan PKMD/PHC.

11. Kategori posyandu

a. Posyandu Pratama (warna merah) dengan kriteria posyandu yang belum mantap, kegiatannya belum rutin tiap bulan, kader aktifnya terbatas.

b. Posyandu Madya (warna kuning) dengan kriteria kegiatannya >8x/tahun, kader >5 orang, cakupan program utama (KB, KIA, Gizi, Imunisasi) rendah yaitu 50%, kelestarian posyandu baik.

c. Posyandu Purnama (warna hijau).

d. Posyandu Mandiri (warna biru).

12. Indikator posyandu

a. Frekwensi penimbangan pertahun

Seharusnya kegiatan ini dilakukan tiap bulan (12x/tahun). Tapi kenyataannya tidak semua posyandu berfungsi setiap bulan, maka diambil batasan 8x/tahun. Rawan apabila frekuensi penimbangan <8x/tahun, sedangkan cukup mapan apabila frekuensi penimbangan 8x/tahun.

b. Rata-rata jumlah kader tugas pada hari “H” posyandu.

Baik, bila jumlah kader ≥5 orang sedangkan kurang, bila jumlah kader <5 orang.

c. Cakupan D/S.

Baik jika D/S mencapai ≥ 50% sedangkan kurang jika D/S mencapai < 50 % (belum mantap).

http://id.wikipedia.org/wiki/Pos_Pelayanan_Terpadu

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

PENGEMBANGAN WAHANA/FORUM PSM BERPERAN DALAM BERBAGAI KEGIATAN DASA WISMA DAN TABULIN

DASA WISMA

Dasa Wisma adalah bagian dari organisasi PKK yang berada di tingkat paling bawah yaitu suatu kelompok yang beranggotakan 10 KK sampai dengan 20 KK yang diketuai oleh seseorang yang dipilih oleh mereka. Dasa Wisma mengambil peranan yang sangat penting dan strategis dalam pemberdayaan keluarga menuju masyarakat yang sejahtera. Banyak Program-program pokok PKK yang pelaksanaannya justru di tingkat Dasa Wisma ini , terutama program sandang, pangan, kesehatan, pengembangan kehidupan koperasi, pendidikan dan ketrampilan, kelestarian lingkungan hidup dan lain-lainnya.

Pembinaan Dasa Wisma sangat diperlukan guna lebih memberdayakan anggotanya agar lebih sejahtera.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

TABULIN

1. Definisi

Tabulin adalah tabungan sosial yang dilakukan oleh calon pengantin, ibu hamil dan ibu yang akan hamil maupun oleh masyarakat untuk biaya pemeriksaan kehamilan dan persalinan serta pemeliharaan kesehatan selama nifas. penyetoran tabulin dilakukan sekali untuk satu masa kehamilan dan persalinan ke dalam rekening tabulin.

2. Tujuan

a. Meningkatkan pemahaman, pengetahuan, pengelola dan masyarakat tentang tabulin.

b. Meningkatkan kemampuan para pengelola dan masyarakat dalam mengenali masalah potensi yang ada dan menemukan alternative pemecahan masalah yang berkaitan dengan ibu hamil dan nifas.

c. Meningkatkan kesadaran, kepedulian pengelola dan masyarakat dalam penggerakan ibu hamil untuk ANC, persalinan dengan tenaga kesehatan, PNC, serta penghimpunan dana masyarakat untuk ibu hamil, bersalin dan ambulan desa

Tabulin (Tabungan Ibu bersalin) dan Dasolin (Dana Sosial Bersalin).

Tabulin berarti Tabungan yang dikumpulkan oleh si Ibu bersalin itu sendiri atau keluarganya dari sejak awal kehamilan untuk memenuhi biaya persalinannya kelak di fasilitas kesehatan. Tabulin merupakan penerapan konsep siaga yang paling dasar, karena kalau seorang ibu hamil maupun seorang suami sudah mempersiapkan biaya persalinan sejak awal kehamilan melalui Tabulin berarti paling tidak dia sudah menerapkan konsep ‘siaga’ untuk dirinya sendiri.

Berdasarkan pengamatan penulis hampir 90% ibu hamil yang penulis temui tidak memiliki Tabulin dengan berbagai alasan antara lain : Pertama, Tidak ada uang yang bisa disisihkan dari penghasilannya karena buat makan dan memenuhi kebutuhan sehari hari saja sudah mepet. Kedua, menganggap tabungan untuk biaya persalinan tidaklah penting Karena toh ada SKTM yang bisa meringankan biaya persalinan mereka. Ketiga, mereka yakin akan melahirkan secara normal dan tidak akan mengalami komplikasi dan pasti biayanya murah.

Untuk alasan yang pertama memang tidak bisa kita pungkiri bahwa mereka memang benar2 orang yang tidak mampu dan memang tidak ada uang yang bias mereka sisihkan, tetapi bukan berarti tidak ada solusi bagi persiapan biaya persalinan mereka. Dalam masalah ini maka kader dan tokoh masyarakat setempat sangat dibutuhkan peranannya melalui pengumpulan Dasolin. Misalnya melalui acara-acara pengajian atau arisan tokoh agama dan tokoh masyarakat mengajak pesertanya untuk mengumpulkan dana membantu mempersiapkan biaya persalinan si ibu ”A” yang memang semua warga sudah tahu dengan kondisi ekonominya. Misalnya pesertanya ada 50 orang dan setiap orang mengeluarkan Rp.1000 setiap bulannya maka sampai waktu persalinannya ibu ”A” sudah mempunyai Dasolin sebesar Rp.450.000 yang bisa digunakan untuk biaya persalinan di ibu bidan. Apabila hal ini sudah berjalan maka tidak ada lagi ibu hamil yang menggantungkan biaya persalinannya kepada pemerintah. Dan masyarakat yang demikian sudah bisa dikatakan sebagai masyarakat ”Siaga” dalam hal kuratif.

Untuk alasan yang kedua, salah satu solusinya adalah memperketat persyaratan untuk mendapatkan SKTM dan juga perlu dibuat aturan yang memaksa mereka harus menabung untuk biaya persalinannya. Misalnya bidan tempat si ibu melakukan ANC mewajibkan setiap ibu hamil yang periksa di tempat dia untuk menabung di ibu bidan dengan pengadministrasian yang baik dan bisa dipercaya.

Untuk alasan yang ketiga dibutuhkan peran tenaga kesehatan untuk mendeteksi sedini mungkin kelainan atau faktor resiko kehamilan si ibu sehingga bisa diberikan informasi sedini mungkin ke ibu hamil dan keluarganya bahwa nanti persalinannya harus melalui operasi atau tindakan lain. Sehingga ibu dan keluarganya juga akan sudah tahu bahwa persalinannya akan membutuhkan biaya yang besar dan akan mempersiapkannya.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

KEGIATAN DONOR DARAH BERJALAN

Donor darah berjalan merupakan salah satu strategi yang dilakukan Departemen Kesehatan dalam hal ini direktorat Bina Kesehatan Ibu. Melalui program pemberdayaan perempuan, keluarga dan masyarakat, dalam upaya mempercepat penurunan AKl.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

Donor darah berjalan adalah para donor aktif yang kapan saja bisa dipanggil. Termasuk kerja mobil ambulance dilapangan yang mendatangi instansi pemerintahan dan swasta terkait sediaan darah lewat program yang mereka buat.

Untuk menguatkan program tersebut Menteri Kesehatan Dr.dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) mencanangkan dimulainya penempelan stiker perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) secara nasional. Dengan pencanangan ini, semua rumah yang di dalamnya terdapat ibu hamil akan ditempeli stiker berisi nama, tanggal taksiran persalinan, penolong persalinan, tempat persalinan, pendamping persalinan, transportasi dan calon pendonor darah. Dengan demikian, setiap kehamilan sampai dengan persalinan dan nifas dapai dipantau oleh masyarakat sekitar dan tenaga kesehatan sehingga persalinan tersebut berjalan dengan aman dan selamat.

Kebutuhan akan darah dari tahun ke tahun semakin meningkat yaitu mencapai 3 juta kantong per tahun. Sementara PMI setiap tahunnya hanya dapat mengumpulkan sekitar 1.2 juta kantong. Masih kurangnya jumlah kantong darah yang harus dikumpulkan disebabkan masih minimnya geliat masyarakat untuk mendonorkan darah mereka. Oleh karena itu perlu dilakukan penggalangan Donor Darah Sukarela (DDS).

Dari sudut medis tindakan menyumbang darah merupakan kebiasaan baik bagi kesehatan pendonor. Salah satunya, dengan berdonor darah secara teratur secara tidak langsung pendonor telah melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur pula. Karena sebelum mendonorkan darah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kesehatan secara lengkap.

Darah yang disumbangkan dapat expired (kedaluwarsa) bila tidak terpakai. Sel-sel darah merah harus digunakan dalam 42 hari. Platelet harus digunakan dalam 5 hari, dan plasma dapat dibekukan dan digunakan dalam jangka waktu 1 tahun. Selain itu, donor darah akan membantu menurunkan risiko terkena serangan jantung dan masalah jantung lainnya. Penelitian menunjukkan, mendonorkan darah akan mengurangi kelebihan zat besi dalam tubuh. Walau masih perlu penelitian lagi untuk memastikannya, kelebihan zat besi diduga berperan menimbulkan kelainan pada jantung. Kelebihan itu akan membuat kolesterol jahat (LDL) membentuk ateros/derosis (plak lemak yang akan menyumbat pembuluh darah).

Jika donor darah dilakukan 2-3 kali setahun, atau setiap 4 bulan sekali, diharapkan kekentalan darah berkurang sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya penyumbatan pembuluh darah. Sistem produksi sel - sel darah juga akan terus terpicu untuk memproduksi sel-sel darah baru yang akan membawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Sirkulasi darah yang baik akan meningkatkan metabolisme dan merevitalisasi tubuh.

Siklus pembentukan sel-sel darah baru yang lancar dan metabolisme tubuh yang berjalan baik, membuat berbagai penyakit dapat dihindarkan. Selama 24 jam setelah berdonor maka volume darah akan kembali normal. Sel-sel darah akan dibentuk kembali dalam waktu 4-8 minggu.

Adapun donor darah dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu :

1. Fasilitasi warga untuk menyepakati pentingnya mengetahui golongan darah.

2. Jika warga belum mengetahui golongan darahnya, maka perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah bagi seluruh warga yang memenuhi syarat untuk menjadi donor darah.

3. Hubungi pihak Puskesmas untuk menyelenggarakan pemeriksaan darah. Jika Puskesmas tidak mempunyai layanan pemeriksaan darah, maka mintalah Puskesmas melakukan rujukan. Jika diperlukan hubungi unit tranfusi darah PMI terdekat.

4. Buatlah daftar golongan darah ibu hamil dan perkiraan waktu lahir, kumpulkan nama warga yang mempunyai golongan darah yang sama dengan ibu hamil. Catat nama dan alamat mereka ataupun cara menghubungi yang tercepat dari semua warga yang bergolongan darah sama dengan ibu hamil.

5. Usahakan semua ibu hamil memiliki daftar calon donor darah yang sesuai dengan golongan darahnya.

6. Buatlah kesepakatan dengan para calon donor darah untuk selalu siap 24 jam, sewaktu-waktu ibu hamil memerlukan tranfusi.

7. Buat kesepakatan dengan Unit Tranfusi darah, agar para warga yang telah bersedia menjadi pendonor darah diprioritaskan untuk diambil darahnya, terutama tranfusi bagi ibu bersalin yang membutuhkannya.

8. Kader berperan memotivasi serta mencari sukarelawan apabila ada salah seorang warganya yang membutuhkan darah.

Referensi :

Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI. Jakarta.

Depkes. (2007). Kurikulum dan Modul Pelatihan Bidan Poskesdes dan Pengembangan Desa Siaga. Depkes. Jakarta.

Depkes RI. (2002). Pelatihan Konseling Pasca Keguguran. Depkes. Jakarta.

Depkes RI. (2002). Standar Profesi Kebidanan. Jakarta.

Depkes RI. Asuhan Kesehatan Anak Dalam Konteks Keluarga . Depkes RI. Jakarta.

Effendy Nasrul. (1998). Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. EGC. Jakarta.

keputusan Menteri Kesehatan Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan.

UU no 23 tahun 1992 tentang kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional

Syahlan, J.H. (1996). Kebidanan Komunitas. Yayasan Bina Sumber Daya Kesehatan.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

AMBULAN DESA

 

1. Pengertian.

a. Ambulan desa adalah salah satu bentuk semangat gotong royong dan saling peduli sesama warga desa dalam sistem rujukan dari desa ke unit rujukan kesehatan yang berbentuk alat transportasi.

b. Ambulan desa adalah suatu alat transportasi yang dapat digunakan untuk mengantarkan warga yang membutuhkan pertolongan dan perawatan di tempat pelayanan kesehatan.

2. Tujuan

a. Tujuan umum.

Mempercepat penurunan AKI karena hamil, nifas dan melahirkan.

b. Tujuan khusus.

Mempercepat pelayanan kegawat daruratan masa1ah kesehatan, bencana serta kesiapsiagaan mengatasi masalah kesehatan yang terjadi atau mungkin terjadi.

3. Sasaran

Pihak-pihak yang berpengaruh terhadap perubahan prilaku individu dan keluarga yang dapat menciptakan iklim yang kondusif terhadap perubahan prilaku tersebut. Semua individu dan keluarga yang tanggap dan peduli terhadap permasalahan kesehatan dalam hal ini kesiapsiagaan memenuhi sarana transportasi sebagai ambulan desa.

4. Kriteria

a. Kendaraan yang bermesin yang sesuai standart (mobil sehat)

b. Mobil pribadi, perusahaan, pemerintah pengusaha .

c. ONLINE (siap pakai)

5. Indikator Proses Pembentukan Ambulan Desa.

a. Ada forum kesehatan desa yang aktf

b. Gerakan bersama atau gotong royong oleh masyarakat dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah kesehatan. bencana serta kegawat daruratan kesehatan dengan pengendalian faktor resikonya.

c. UKBM berkualitas

d. Pengamatan dan pemantauan masalah kesehatan.

e. Penurunan kasus masalah kesehatan, bencana atau kegawat daruratan kesehatan.

MAKALAH PERTOLONGAN PERSALINAN OLEH TENAGA KESEHATAN NON-MEDIS

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pertolongan persalinan oleh tenaga non kesehatan yaitu proses persalinan yang di bantu oleh tenaga non kesehatan yang biasa di kenal dengan istilah dukun bayi atau nama lainnya dukun beranak, dukun bersalin, dukun peraji. Dalam lingkungan dukun bayi merupakan tenaga terpercaya dalam segala soal yang terkait dengan reproduksi wanita. Ia selalu membantu pada masa kehamilan, mendampingi wanita saat bersalin, sampai persalinan selesai dan mengurus ibu dan bayinya dalam masa nifas.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

Dukun bayi biasanya seorang wanita sudah berumur ± 40 tahun ke atas. Pekerjaan ini turun temurun dalam keluarga atau karena ia merasa mendapat panggilan tugas ini. Pengetahuan tentang fisiologis dan patologis dalam kehamilan, persalinan, serta nifas sangat terbatas oleh karena itu apabila timbul komplikasi ia tidak mampu untuk mengatasinya, bahkan tidak menyadari akibatnya, dukun tersebut menolong hanya berdasarkan pengalaman dan kurang professional. Berbagai kasus sering menimpa seorang ibu atau bayinya seperti kecacatan bayi sampai pada kematian ibu dan anak.

Dalam usaha meningkatkan pelayanan kebidanan dan kesehatan anak maka tenaga kesehatan seperti bidan mengajak dukun untuk melakukan pelatihan dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan dalam menolong persalinan, selain itu dapat juga mengenal tanda-tanda bahaya dalam kehamilan dan persalinan dan segera minta pertolongan pada bidan. Dukun bayi yang ada harus ditingkatkan kemampuannya, tetapi kita tidak dapat bekerjasama dengan dukun bayi dalam mengurangi angka kematian dan angka kesakitan (Prawirohardjo, 2005).

B. TUJUAN

Tujuan umum

Mengetahui gambaran tentang pertolongan persalinan oleh tenaga non-medis.

Tujuan Khusus

· Untuk mengetahui apa itu pertolongan persalinan oleh tenaga non-medis

· Untuk mengetahui cara-cara pertolongan persalinan oleh tenaga non-medis

· Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab mengapa masyarakat lebih banyak yang meminta pertolongan persalinan oleh tenaga non-medis

· untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan untuk menjalin kerjasama antara tenaga medis dan non-medis dalam menolong persalinan

· untuk mengetahui masalah yang dapat ditimbulkan apabila persalinan ditolong oleh tenaga non-medis

· untuk mengetahui pelayanan apa saja yang dapat diberikan oleh tenaga kesehatan non-medis.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan non-medis seringkali dilakukan oleh seseorang yang disebut sebagai dukun beranak, dukun bersalin atau peraji. Pada dasarnya dukun bersalin diangkat berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat atau merupakan pekerjaan yang sudah turun temurun dari nenek moyang atau keluarganya dan biasanya sudah berumur ± 40 tahun ke atas (Prawirohardjo, 2005).

Pendidikan dukun umumnya adalah Kejar Paket A atau tamat SD, bisa baca tulis dengan kapasitas yang rendah, mereka tidak mendapat ilmu tentang cara pertolongan persalinan secara teori di bangku kuliah, tetapi mereka hanya berdasarkan pengalaman saja. Peralatan yang digunakannya hanya seadanya seperti memotong tali pusat menggunakan bambu, untuk mengikat tali pusat menggunakan tali naken, dan untuk alasnya menggunakan daun pisang

2.2 Cara-cara Pertolongan Oleh Tenaga Non-medis

Tak berbeda dengan seorang bidan, dukun beranak melakukan pemeriksaan kehamilan melalui indri raba (palpasi). Biasanya perempuan yang mengandung, sejak mengidam sampai melahirkan selalu berkonsultasi kepada dukun, bedanya dibidan perempuan yang mengandunglah yang datang ketempat praktek bidan untuk berkonsultasi. Sedangkan dukun ia sendiri yang berkeliling dari pintu ke pintu memeriksa ibu yang hamil. Sejak usia kandungan 7 bulan kontrol dilakukan lebih sering. Dukun menjaga jika ada gangguan, baik fisik maupun non fisik terhadap ibu dan janinnya. Agar janin lahir normal, dukun biasa melakukan perubahan posisi janin dalam kandungan dengan cara pemutaran perut (diurut-urut) disertai doa Ketika usia kandungan 4 bulan, dukun melakukan upacara tasyakuran katanya janin mulai memiliki roh.hal itu terasa pada perut ibu bagian kanan ada gerakan halus.

Pada usia kandungan 7 bulan, dukun melakukan upacara tingkeban. Katanya janin mulai bergerak meninggalkan alam rahim menuju alam dunia, melalui kelahiran. Calon ibu mendapat perawatan khusus, selain perutnya dielus-elus, badannya juga dipijat-pijat, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Malah disisir dan dibedaki agar ibu hamil tetap cantik meskipun perutnya makan lama makin besar

2.3 Faktor-faktor Penyebab Mengapa Masyarakat Lebih Memilih Penolong Bersalin Dengan tenaga Kesehatan Non-medis

Masih banyak masyarakat yang memilih persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan non- medis daripada tenaga kesehatan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

a. Kemiskinan

Tersedianya berbagai jenis pelayanan public serta persepsi tentang nilai dan mutu pelayanan merupakan faktor penentu apakah rakyat akan memilih kesehatan atau tidak. Biasanya, perempuan memilih berdasakan penyedia layanan tersebut, sementara laki-laki menentukan pilihan mereka berdasarkan besar kecilnya biaya sejauh dijangkau oleh masyarakat miskin.

Sekitar 65% dari seluruh masyarakat miskin yang diteliti menggunakan penyesia layanan kesehatan rakyat seperti bidan di desa, puskesmas atau puskesmas pembantu (pustu), sementara 35% sisanya menggunakan dukun beranak yang dikenal dengan berbagai sebutan. Walaupun biaya merupakan alasan yang menentukan pilihan masyarakat miskin, ada sejumlah faktor yang membuat mereka lebih memilih layanan yang diberikan oleh dukun. Biaya pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa untuk membantu persalinan lebih besar daripada penghasilan RT miskin dalam satu bulan. Disamping itu, biaya tersebut pun harus dibayar tunai. Sebaliknya, pembayaran terhadap dukun lebih lunak secara uang tunai dan ditambah barang. Besarnya tariff dukun hanya sepersepuluh atau seperlima dari tariff bidan dea. Dukun juga bersedia pembayaran mereka ditunda atau dicicil(Suara Merdeka, 2003).

b. Masih langkanya tenaga medis di daerah-daerah pedalaman

Sekarang dukun di kota semakin berkurang meskipun sebetulnya belum punah sama sekali bahkan disebagian besar kabupaten, dukun beranak masih eksis dan dominant. Menurut data yang diperoleh Dinas Kesehatan Jawa Barat jumlah bidan jaga di Jawa Barat sampai tahun 2005 ada 7.625 orang. Disebutkan pada data tersebut, jumlah dukun di perkotaan hanya setengah jumlah bidan termasuk di kota Bandung. Namun, di 9 daerah (kabupaten) jumlah dukun lebih banyak (dua kali lipat) jumlah bidan. Malah di Jawa Barat masih ada 10 kabupaten yang tidak ada bidan (Ketua Mitra Peduli/Milik Jabar).

c. Kultur budaya masyarakat

Masyarakat kita terutama di pedesaan, masih lebih percaya kepada dukun beranak daripada kepada bidan apalagi dokter. Rasa takut masuk rumah sakit maih melekat pada kebanyakan kaum perempuan. Kalaupun terjadi kematian ibu atau kematian bayi mereka terima sebagai musibah yang bukan ditentukan manusia

Selain itu masih banyak perempuan terutama muslimah yang tidak membenarkan pemeriksaan kandungan, apalagi persalinan oleh dokter atau para medis laki-laki. Dengan sikap budaya dan agama seperti itu, kebanyakan kaum perempuan di padesaan tetap memilih dukun beranak sebagai penolong persalinan meskipun dengan resiko sangat tinggi.

2.4 Masalah Yang Dapat Ditimbulkan Apabila Persalinan Ditolong Oleh Non-medis

Menurut sinyalemen Dinkes AKI cenderung tinggi akibat pertolongan persalinan tanpa fasilitas memadai, antara lain tidak adanya tenaga bidan apalagi dokter obsgin. Karena persalinan masih ditangani oleh dukun beranak atau peraji, kasus kematian ibu saat melahirkan masih tetap tinggi. Pertolongan gawat darurat bila terjadi kasus perdarahan atau infeksi yang diderita ibu yang melahirkan, tidak dapat dilakukan.

Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan orang lebih memilih untuk menggunakan dukun beranak. Sementara itu, definisi merekatentang mutu pelayanan berbeda dengan definisi standar medis. Kelemahan utama dari mutu pelayanan adalah tidak terpenuhinya standar minimal medis oleh para dukun beranak, seperti dengan praktek yang tidak steril (memotong tali pusat dengan sebilah bambu dan meniup lubang hidung bayi yang baru lahir dengan mulut). Riwayat kasus kematian ibu dan janin dalam penelitian ini menggambarkan apa yang terjadi jika dukun beranak gagal mengetahui tanda bahaya dalam masa kehamilan dan persalinan serta rujukan yang terlambat dan kecacatan janin pun bisa terjadi dari kekurangtahuan dukun beranak akan tanda-tanda bahaya kehamilan yang tidak dikenal (Suara Merdeka, 2003).

Selain itu, pertolongan persalinan oleh dukun sering menimbulkan kasus persalinan, diantaranya kepala bayi sudah lahir tetapi badannya masih belum bisa keluar atau partus macet, itu disebabkan karena cara memijat dukun bayi tersebut kurang profesional dan hanya berdasarkan kepada pengalaman. Usaha Untuk Menjalin Kerjasama Antara Tenaga Medis dan Non-medis Dalam Menolong Persalinan

Berdasarkan dukun di Indonesia masih mempunyai peranan dalam menolong suatu persalinan dan tidak bisa dipungkiri, masih banyak persalinan yang ditolong oleh dukun beranak, walaupun dalam menolong persalinan dukun tidak berdasarkan kepada pengalaman dan berbagai kasus persalinan oleh dukun seringkali terjadi dan menimpa seorang ibu dan atau bayinya. Tetapi keberadaan dukun di Indonesia tidak boleh dihilangkan tetapi kita bisa melakukan kerjasama dengan dukun untuk mengatasi hal-hal atau berbagai kasus persalinan oleh dukun.

Seperti di daerah pedesaan Paminggir, Alas Kokon, Kertajayadan daerah perkotaan Soklat setelah dua dari empat dukun beranak yang diwawacarai telah menerima pelatihan dari dokter-dokter puskesmas pada tahun 1990-1991. Mereka merasa pelatihan dan peralatan persalinan yang diberikan saat pelatihan sangat bermanfaat. Para dukun juga dilatih tentang pencatatan dan pelaporan. Setiap dukun dilatih membaca sampai mengerti bagaimana cara pengisian kolom tersebut. Pelatihan untuk perawatan ibu hamil, pertolongan pada diare, makanan bergizibagi bayi, balita dan ibu hamil juga dilakukan. Membina hubungan baik dengan dukun juga dilakukan agar kita bisa lebih gampang menjalin kerjasama dengan dukun.

2.5 Pelayanan yang Dapat Diberikan Oleh Tenaga Non-medis

Dalam mutu pelayanan tidak dipenuhinya standar minimal medis oleh para dukun, seperti dengan praktek yang tidak steril (memotong tali pusat dengan sebilah bambu dan meniup lubang hidung bayi baru lahir dengan mulut).

Layanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan non-medis misalnya:

· Dukun mau mendatangi setiap ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan.

· Dukun mematok harga murah, kadang bisa disertai atau diganti dengan sesuatu barang misalnya beras, kelapa, dan bahan dapur lainnya.

· Dukun beranak dapat melanjutkan layanan untuk 1-44 hari pasca melahirkan dengan sabar memanjakan ibu dan bayinya misalkan dia mencuci dan membersihkan ibu setelah melahirkan.

· Dukun menemani anggota keluarga agar bisa beristirahat dan memulihkan diri, sebaliknya bidan seringkali tidak bersedia saat dibutuhkan atau bahkan tidak mau datang saat dipanggil.

2.6 Tentang Keberadaan Dukun

Walaupun sekarang sudah jaman moderen kita masih memerlukan tenaga dukun sebagai pendamping dalam mengawasi kehamilan disaat tenaga bidan tidak bisa melakukan pengawasan secara penuh dan disuatu daerahyang masih kurang nya tenagqa bidan. Cara pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun tidak jauh berbeda dari cara pertolongan persalinan oleh bidan, hanya saja dalam penerapannya mereka kurang memperhatikan kesterilan dan alat-alat yang digunakan masih seadanya. Para dukun juga melakukan pengawasan kepada ibu hamil semenjak para dukun tahu tentang kehamilan ibu, hal ini sama dengan lebih mengarah ke spiritual. Dan keberadaan dukun ini tidak bisa dihilangkan dalam pemberian pertolongan persalinan. Dan kita sebagai bidan harus menjalin kerjasama dengan dukun dalam meningkatkan mutu pelayanan dalam pertolongan persalinan untuk mencegah kematian ibu dan janin serta kecacatan yang mungkin terjadi.

Dalam meningkatkan mutu pelayanan kita bisa melakukan pelatihan-pelatihan kepada dukun sehingga para dukun diharapkan bisa mengetahui tentang tanda-tanda bahaya kehamilan dan persalinan. Selain itu diharapkan pula agar para peraji dalam menolong persalinan diajarkan supaya menggunakan prinsip steril untuk menghindari infeksi dimana infeksi itu sering sebagai penyebab kematian ibu dan janin. Dalam mewujudkan dukun yang terlatih, pemerintah harus ikut berpartisipasi memberi dukungan dan membantu dalam memberikan bantuan peralatan persalinan gratis kepada para dukun untuk meminimalkan komplikasi pada saat persalinan.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pertolongan persalinan oleh tenaga non-medis tidak bisa dihilangkan karena sudah merupakan suatu kepercayaan dan sudah melekat dalam budaya. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan non-kesehatan masih diperlukan pada daerah-daerah yang masih minimnya tenaga kesehatan khususnya bidan.

Kerjasam antar bidan dan pemerintah dengan tenaga kesehatan non-medis sangat diperlukan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. kerjasama yang bisa dilakukan seperti misalnya dalam pemberian pelatihan kepada para tenaga kesehatan non-kesehatan atau keikut sertaan pemerintah sangat penting untuk menunjang sukesnya pelatihan dengan pemberian bantuan alat-alat untuk menolong persalinan seperti gunting tali pusat, sehingga infeksi saat pemotongan tali pusat bisa diturunkan

B. Saran

1. Untuk masyarakat

- Diharapkan masyarakat ikut lebih memperhatkan tentang kesehatan atau ibu terutama dalam proses persalinannya.

- Diharapkan masyarakat lebih menyeleksi dalam memilih penolong persalinannya.

2. Untuk pemerintah

Diharapkan pemerintah ikut serta dalam memberikan dukungan seperti pelatihan dan pemberian alat-alat pertolongan peralinan gratis kepada dukun.

Diharapkan pemerintah bisa membantu alam pemerataan bidan atau tenaga kesehatan sampai daerah pedalaman sehingga mutu kesehatan meningkat sampai daerah-daerah terpencil.
3. Untuk Peraji

Diharapkan para dukun memiliki kesadara untuk meningkatkan pengetahuannya dan menerima pelatihan-pelatihan yang diberikan.

4. Untuk Ibu Hamil

Diharapkan ibu hamil tidak hanya memeriksakan kehamilannya di dukun tetapi jugs di bidan agar bisa mendeteksi dini tanda-tanda bahaya kehamilan.

5. Untuk Tenaga Medis

Diharapkan tenaga medis bersedia menjalin kerjasamadan atau berbagi ilmu dengan para dukun beranak atau peraji.

DAFTAR PUSTAKA

Kartika, Sofia. 2004. Kerjasama Dukun dan Bidan Desa untuk Menekan AKI dan AKB.

http://www.jurnalperempuan.com

Ketua Mitra Peduli Kependudukan/Milik Jabar. 2006. Pikiran Rakyat Bandung

http://www.pikiranrakyatbandung.com

Prawirahardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPSP

http://cewexsweetiya.blogspot.com/2011/01/makalah-pertolongan-persalinan-oleh.html

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

MAKALAH MENGGERAKKAN DAN MEMBERDAYAKAN PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM KESEHATAN

 

Pemberdayaan Masyarakat dalam Promosi Kesehatan

I. Pendahuluan

Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan merupakan sasaran utama dari promosi kesehatan. Masyarakat atau komunitas merupakan salah satu dari strategi global promosi kesehatan pemberdayaan (empowerment) sehingga pemberdayaan masyarakat sangat penting untuk dilakukan agar masyarakat sebagai primary target memiliki kemauan dan kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

II. Pembahasan

Tujuan pemberdayaan masyarakat

Pemberdayaan masyarakat ialah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2007). Batasan pemberdayaan dalam bidang kesehatan meliputi upaya untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan sehingga secara bertahap tujuan pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk:

· Menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman akan kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat.

· Menimbulkan kemauan yang merupakan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan atau sikap untuk meningkatkan kesehatan mereka.

· Menimbulkan kemampuan masyarakat untuk mendukung terwujudnya tindakan atau perilaku sehat.

Suatu masyarakat dikatakan mandiri dalam bidang kesehatan apabila:

1) Mereka mampu mengenali masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan terutama di lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan tentang penyakit, gizi dan makanan, perumahan dan sanitasi, serta bahaya merokok dan zat-zat yang menimbulkan gangguan kesehatan.

2) Mereka mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri dengan menggali potensi-potensi masyarakat setempat.

3) Mampu memelihara dan melindungi diri mereka dari berbagai ancaman kesehatan dengan melakukan tindakan pencegahan.

4) Mampu meningkatkan kesehatan secara dinamis dan terus-menerus melalui berbagai macam kegiatan seperti kelompok kebugaran, olahraga, konsultasi dan sebagainya.

Prinsip pemberdayaan masyarakat

1) Menumbuhkembangkan potensi masyarakat.

2) Mengembangkan gotong-royong masyarakat.

3) Menggali kontribusi masyarakat.

4) Menjalin kemitraan.

5) Desentralisasi.

Peran petugas kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat

1) Memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan maupun program-program pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan dan pengorganisasian masyarakat.

2) Memberikan motivasi kepada masyarakat untuk bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan agar masyarakat mau berkontribusi terhadap program tersebut.

3) Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada masyarakat dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat vokasional.

Ciri pemberdayaan masyarakat

1) Community leader: petugas kesehatan melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat atau pemimpin terlebih dahulu. Misalnya Camat, lurah, kepala adat, ustad, dan sebagainya.

2) Community organization: organisasi seperti PKK, karang taruna, majlis taklim, dan lainnnya merupakan potensi yang dapat dijadikan mitra kerja dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

3) Community Fund: Dana sehat atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang dikembangkan dengan prinsip gotong royong sebagai salah satu prinsip pemberdayaan masyarakat.

4) Community material : setiap daerah memiliki potensi tersendiri yang dapat digunakan untuk memfasilitasi pelayanan kesehatan. Misalnya, desa dekat kali pengahsil pasir memiliki potensi untuk melakukan pengerasan jalan untuk memudahkan akses ke puskesmas.

5) Community knowledge: pemberdayaan bertujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat dengan berbagai penyuluhan kesehatan yang menggunakan pendekatan community based health education.

6) Community technology: teknologi sederhana di komunitas dapat digunakan untuk pengembangan program kesehatan misalnya penyaringan air dengan pasiratau arang.

Masalah teoretis kunci

Pertanyaan yang harus diajukan dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat di dalam promosi kesehatan adalah:

Pertama, siapakah masyarakat yang menjadi konteks program ; Pengenalan karakter masyarakat ini penting dan dilatar belakangi oleh bukti-bukti bahwa masyarakat bersifat heterogen dan memiliki energi, waktu, motivasi, dan kepentingan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, dalam sebuah kasus promosi kesehatan, terdapat lokasi-lokasi tertentu yang tidak memiliki ketua RT, misalnya di perumahan yang penghuninya baru pulang setelah jam 8 malam. Dapat diperkirakan bahwa rencana program penyuluhan secara oral kepada mereka akan sulit dilaksanakan. Dengan demikian, pendekatan lain bisa dilakukan misalnya melalui situs jika mereka mudah mengakses internet, atau menggunakan fasilitas mobile messaging.

Pertanyaan kedua berkaitan dengan faktor-faktor apa saja yang sekiranya dapat mempengaruhi pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan penelitian Laverack, faktor-faktor tersebut antara lain partisipasi, kepemimpinan, analisis masalah, struktur organisasi, mobilisasi sumber daya, link (tautan) terhadap yang lain, manajemen program, dan peran dari pihak luar.

Pertanyaan ketiga adalah apakah pemberdayaan masyarakat ini merupakan proses atau merupakan outcome. Dalam hal ini, banyak literatur yang menyebutkan bahwa jawabannya adalah bisa kedua-duanya. Hampir semua bersepakat bahwa pemberdayaan masyarakat adalah proses yang dinamis dan melibatkan berbagai hal, seperti pemberdayaan personal, pengembangan kelompok kecil yang bersama-sama, organisasi masyarakat, kemitraan, serta aksi sosial politik. Sebagai outcome, pemberdayaan merupakan perubahan pada individu maupun komunitas yang bersifat saling mempengaruhi.

Indikator hasil pemberdayaan masyarakat

1) Input, meliputi SDM, dana, bahan-bahan, dan alat-alat yang mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat.

2) Proses, meliputi jumlah penyuluhan yang dilaksanakan, frekuensi pelatihan yang dilaksanakan, jumlah tokoh masyarakat yang terlibat, dan pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan.

3) Output, meliputi jumlah dan jenis usaha kesehatan yang bersumber daya masyarakat, jumlah masyarakat yang telah meningkatkan pengetahuan dan perilakunya tentang kesehatan, jumlah anggota keluarga yang memiliki usaha meningkatkan pendapatan keluarga, dan meningkatnya fasilitas umum di masyarakat.

4) Outcome dari pemberdayaan masyarakat mempunyai kontribusi dalam menurunkan angka kesakitan, angka kematian, dan angka kelahiran serta meningkatkan status gizi masyarakat.

III. Kesimpulan

Pemberdayaan masyarakat merupakan sasaran utama dalam promosi kesehatan yang bertujuan untuk memandirikan masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan status kesehatannya menjadi lebih baik dengan menggunakan prinsip pemberdayaan dimana petugas kesehatan berperan untuk memfasilitasi masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuannya untuk memlihara dan meningkatkan status kesehatannnya.

Strategi penggerakan dan pemberdayaan masyarakat yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang telah disediakan oleh pemerintah, mengembangkan berbagai cara untuk menggali dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat untuk pembangunan kesehatan, mengembangkan berbagai bentuk kegiatan pembangunan kesehatan yang sesuai dengan kultur budaya masyarakat setempat dan mengembangkan manajemen sumber daya yang dimiliki masyarakat secara terbuka (transparan).

Pengertian penggerakan dan pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat persuasif dan melalui memerintah yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahun, sikap, perilaku, dan kemampuan masyarakat dalam menemukan, merencanakan serta memecahkan masalah menggunakan sumber daya/potensi yang mereka miliki termasuk partisipasi dan dukungan tokoh-tokoh masyarakat serta LSM yang ada dan hidup di masyarakat.

Penggerakan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan akan menghasilkan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan dengan demikian penggerakan dan pemberdayaan masyarakat merupakan proses sedangkan kemandirian merupakan hasil, karenanya kemandirian masyarakat di bidang kesehatan bisa diartikan sebagai kemampuan untuk dapat mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada di lingkungannya, kemudian merencanakan dan melakukan cara pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat tanpa tergantung pada bantuan dari luar.

Pembinaan peran serta masyarakat adalah salah satu upaya pengembangan yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan penggerakan dan pemberdayaan masyarakat melalui model persuasif dan tidak memerintah, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku, dan mengoptimalkan kemampuan masyarakat dalam menemukan, merencanakan, dan memecahkan masalah. Pembinaan lokal merupakan serangkaian langkah yang diterapkan guna menggali, meningkatkan dan mengarahkan peran serta masyarakat setempat. menggunakan sumber daya/potensi yang mereka miliki termasuk partisipasi dan dukungan tokoh-tokoh masyarakat serta LSM yang ada dan hidup di masyarakat.

A. PRINSIP-PRINSIP PENGGERAKAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

1. Menumbuhkembangkan kemampuan masyarakat

Di dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebaiknya secara bertahap sedapat mungkin menggunakan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat, apabila diperlukan bantuan dari luar bentuknya hanya berupa perangsang atau pelengkap sehingga tidak semata-mata bertumpu pada bantuan tersebut.

2. Menumbuhkan dan atau mengembangkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan.

Peran serta masyarakat di dalam pembangunan kesehatan dapat diukur dengan makin banyaknya jumlah anggota masyarakat yang mau memanfaatkan pelayanan kesehatan seperti memanfaatkan Puskesmas, Pustu, Polindes, mau hadir ketika ada kegiatan penyuluhan kesehatan, mau menjadi kader kesehatan, mau menjadi peserta Tabulin, JPKM, dan lain sebagainya.

3. Mengembangkan semangat gotong royong dalam pembangunan kesehatan .

Semangat gotong royong yang merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia hendaknya dapat juga ditunjukkan dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Adanya semangat gotong royong ini dapat diukur dengan melihat apakah masyarakat bersedia bekerjasama dalam peningkatan sanitasi lingkungan, penggalakan gerakan 3M (Menguras¬, Menutup, Menimbun) dalam upaya pemberantasan penyakit demam berdarah, dan lain sebagainya.

4. Bekerja bersama masyarakat .

Setiap pembangunan kesehatan hendaknya pemerintah/petugas kesehatan menggunakan prinsip bekerja untuk dan bersama masyarakat. Maka akan meningkatkan motivasi dan kemampuan masyarakat karena adanya bimbingan, dorongan, alih pengetahuan dan keterampilan dari tenaga kesehatan kepada masyarakat.

5. Menggalang kemitraan dengan LSM dan organisasi kemasyarakatan yang ada dimasyarakat.

Prinsip lain dari penggerakan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah pemerintah/tenaga kesehatan hendaknya memanfaatkan dan bekerja sama dengan LSM serta organisasi kemasyarakatan yang ada di tempat tersebut. Dengan demikian upaya pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat lebih berhasil guna (efektif) dan berdaya guna (efisien).

6. Penyerahan pengambilan keputusan kepada masyarakat

Semua bentuk upaya penggerakan dan pemberdayaan masyarakat termasuk di bidang kesehatan apabila ingin berhasil dan berkesinambungan hendaknya bertumpu pada budaya dan adat setempat. Untuk itu penga'mbilan keputusan khususnya yang menyangkut tata cara pelaksanaan kegiatan guna pemecahan masalah kesehatan yang ada di masyarakat hendaknya diserahkan kepada masyarakat, pemerintah/tenaga kesehatan hanya bertindak sebagai fasilitator dan dinamisator. Sehingga masyarakat merasa lebih memiliki tanggung jawab untuk melaksanakannya, karena pada hakekatnya mereka adalah subyek dan bukan obyek pembangunan. dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat lebih berhasil guna (efektif) dan berdaya guna (efisien).

7. Penyerahan pengambilan keputusan kepada masyarakat

Semua bentuk upaya penggerakan dan pemberdayaan masyarakat termasuk di bidang kesehatan apabila ingin berhasil dan berkesinambungan hendaknya bertumpu pada budaya dan adat setempat. Untuk itu pengambilan keputusan khususnya yang menyangkut tata cara pelaksanaan kegiatan guna pemecahan masalah kesehatan yang ada di masyarakat hendaknya diserahkan kepada masyarakat, pemerintah/tenaga kesehatan hanya bertindak sebagai fasilitator dan dinamisator. Sehingga masyarakat merasa lebih memiliki tanggung jawab untuk melaksanakannya, karena pada hakekatnya mereka adalah subyek dan bukan obyek pembangunan.

B. CIRI-CIRI PENGGERAKAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

1. Upaya yang berlandaskan pada penggerakan dan pemberdayaan masyarakat.

2. Adanya kemampuan/kakuatan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

3. Kegiatan yang segala sesuatunya diatur oleh masyarakat secara sukarela.

C. KEMAMPUAN KEKUATAN YANG DIMILIKI OLEH MASYARAKAT

1. Tokoh-tokoh masyarakat

Yang tergolong sebagai tokoh masyarakat adalah semua orang yang memiliki pengaruh di masyarakat setempat baik Kampung, Kepala Dusun, Kepala Desa) maupun tokoh non formal (tokoh agama, adat, tokoh pemuda, kepala suku). Tokoh-tokoh masyarakat ini merupakan kekuatan yang sangat besar yang mampu menggerakkan masyarakat di dalam setiap upaya pembangunan.

2. Organisasi kemasyarakatan

Organisasi yang ada di masyarakat seperti TPKK, Lembaga Persatuan Pemuda (LPP), pengajian, dan lain sebagainya merupakan wadah berkumpulnya para angggota dari masing-masing organisasi tersebut, sehingga upaya penggerakan dan pemberdayaan masyarakat akan lebih berhasil guna apabila pemerintah/tenaga kesehatan memanfaatkannya dalam upaya pembangunan kesehatan.

3. Dana masyarakat

Pada golongan masyarakat tertentu, penggalangan dana masyarakat merupakan upaya yang tidak kalah pentingnya. Tetapi pada golongan masyarakat yang tidak ekonominya pra-sejahtera, penggalangan dana masyarakat hendaknya dilakukan sekedar agar mereka merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap upaya pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatannya. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan model tabungan-tabungan atflu sistem asuransi yang bersifat subsidi silang.

4. Sarana dan material yang dimiliki masyarakat

Pendayagunaan sarana dan material yang dimiliki oleh masyarakat seperti peralatan, batu kali, bambu, kayu dan lain sebagainya untuk pembangunan kesehatan akan menumbuhkan rasa tanggung jawab dan ikut memillki masyarakat. Kampung, Kepala Dusun, Kepala Desa) maupun tokoh non formal (tokoh agama, adat, tokoh pemuda, kepala suku). Tokoh-tokoh masyarakat ini merupakan kekuatan yang sangat besar yang mampu menggerakkan masyarakat di dalam setiap upaya pembangunan.

5. Pengetahuan masyarakat

Masyarakat memiliki pengetahuan yang bermanfaat bagi pembangunan kesehatan masyarakat, seperti pengetahuan tentang obat tradisional (asli Indonesia), pengetahuan mengenai penerapan teknologi tepat guna untuk pembangunan fasilitas kesehatan di wilayahnya misalnya penyaluran air menggunakan bambu, dll. Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut akan meningkatkan keberhasilan upaya pembangunan kesehatan.

6. Teknologi yang dimiliki masyarakat

Masyarakat juga telah memiliki teknologi tersendiri dalam memecahkan masalah yang dialaminya, teknologi ini biasanya bersifat sederhana tapi tepat guna. Untuk itu pemerintah sebaiknya memanfaatkan tekonologi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut dan apabila memungkinkan dapat memberikan saran teknis guna meningkatkan hasil gunanya.

7. Pengambilan keputusan

Apabila tahapan penemuan masalah dan perencanaan kegiatan pemecahan masalah kesehatan telah dapat dilakukan oleh masyarakat, maka pengambilan keputusan terhadap upaya pemecahan masalahnya akan lebih baik apabila dilakukan oleh masyarakat sendiri. Dengan demikian kegiatan pemecahan masalah kesehatan tersebut akan berkesinambungan karena masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kegiatan yang mereka rencanakan sendiri.

Dalam memfasilitasi penggerakan dan memberdayaan masyarakat yang perlu diketahui adalah bagaimana mengidentifikasi potensi sumber daya, mencari peluang yang ada di Kampung, Kepala dusun, Kepala desa) maupun tokoh non formal (tokoh agama, adat, tokoh pemuda, kepala suku). Tokoh-tokoh masyarakat ini merupakan kekuatan yang sangat besar yang mampu menggerakkan masyarakat di dalam setiap upaya pembangunan.

D. PEMBINAAN DUKUN BAYI

1. Pengertian

a. Dukun bayi adalah seorang anggota masyarakat pada umumnya seorang wanita yang mendapat kepercayaan serta memiliki ketrampilan menolong persalinan secara turun menurun, belajar secara praktis atau cara lain yang menjurus kearah peningkatan ketrampilan tersebut serta memiliki petugas kesehatan.

b. Pembinaan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang, masyarakat, pemerintah dalam rangka meningkatkan keterampilan dan mempersempit kewenangan sesuai dengan fungsi dan tugasnya.

c. Kemitraan adalah kerjasama yang didasarkan atas kesepakatan¬ kesepakatan bersama antara beberapa pihak yang terkait.

2. Peran Dukun Bayi

Perbedaan antara peran dukun bayi jaman sekarang dan jaman dulu.

a. Jaman Dahulu

1) Melakukan pemeriksaan ibu hamil.

2) Menolong persalinan.

3) Merawat ibu nifas dan bayi.

4) Menganjurkan ibu hamil dan nifas untuk berpantang makanan tertentu.

5) Melarang ibu untuk ber KB sebelum 7 bulan pasca persalinan.

6) Melarang bayi diimunisasi.

b. Jaman Sekarang.

1) Merujuk ibu hamil ke petugas kesehatan.

2) Merujuk ibu bersalin ke petugas kesehatan dan tidak boleh menolong persalinan.

3) Membantu merawat ibu nifas dan bayi.

4) Melarang ibu berpantang makanan tertentu sesuai dengan petunjuk kesehatan.

5) Memotivasi ibu untuk segera berKB, ASI eklusif dan segera imunisasi.

3. Tujuan Pembinaan dan Kemitraan Dukun Bayi dan Bidan

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia utamanya mempercepat penurunan AKI dan AKB.

4. Manfaat Pembinaan dan Kemitraan Dukun Bayi

a. Meningkatkan mutu ketrampilan dukun bayi dalam memberikan pelayanan sesuai dengan tugas dan fungsinya.

b. Meningkatkan ke~asama antara dukun bayi dan bidan.

c. Meningkatkan cakupan persalinan dengan petugas kesehatan.

5. Program pembinaan dukun bayi meliputi :

a. Fase I : Pendaftaran dukun

1) Semua dukun yang berpraktek didaftar dan diberikan tanda terdaftar.

2) Dilakukan assesment mengenai pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka dalam penanganan kehamilan dan persalinan.

b. Fase II : Pelatihan

1) Dilakukan pelatihan sesuai dengan hasil assesment.

2) Diberikan sertifikat.

3) Dilakukan penataan kembali tugas dan wewenang dukun dalam pelayanan kesehatan ibu.

4) Yang tidak dapat sertifikat tidak diperkenankan praktek.

c. Fase III : Pelatihan oleh tenaga terlatih

1) Persalinan hanya boleh ditolong oleh tenaga terlatih.

2) Pendidikan bidan desa diprioritaskan pada anak/keluarga dukun.

Referensi :

Depkes. (2007). Kurikulum dan Modul Pelatihan Bidan Poskesdes dan Pengembangan Desa Siaga. Depkes. Jakarta.

Depkes RI. (2007) Rumah Tangga Sehat Dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Pusat Promosi Kesehatan.

Depkes RI. (2006). Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA). Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

Effendy Nasrul. (1998). Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. EGC. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

Syahlan, J.H. (1996). Kebidanan Komunitas. Yayasan Bina Sumber Daya Kesehatan.

Marasabessy, N.B,. (2007). Program pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pemberantasan malaria di kabupaten Maluku tengah.pdf. Universitas Gadjah Mada.

Notoatmodjo, S. (2007). Promosi kesehatan & ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

Wass, A. (1995). Promoting health: the primary health approach. Toronto: W.B. Sanders.

http://mhs.blog.ui.ac.id/rani.setiani/2009/11/10/45/

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

MAKALAH PELAYANAN KONTRASEPSI DAN RUJUKAN

BAB I

PENDAHULUAN

Kontrasepsi efektif adalah metode kontrasepsi IUD, implant dan kontrasepsi mantap. Program Keluarga Berencana Nasional yang pad pelita V telah berkembang menjadi Gerakan Keluarga Berencana Nasional telah mencapai hasil-hasil yang menggembirakan. Berdasarkan hasil Survey Prevalensi Indonesia tahun 1987, 61,2% dari wanita berstatus kawin pada saat itu pernah menggunakan salah satu alat kontrasepsi modern 21,1% diantaranya pernah menggunakan IUD, 0,4% menggunakan implant dan 3,3% menggunakan cara kontrasepsi mantap.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

Lebih jauh lagi dinyatakan bahwa 44,08% dari wanita yang berstatus kawin sedang aktif menggunakan salah satu alat konrasepsi modern dan 13,2% diantara ibu-ibu tersebut menggunakaan IUD, 0,4% menggunakan implant dan 3,3% menggunakan cara kontrasepsi mantap.

Dengan hasil tersebut diatas tampak bahwa metode kontrasepsi mantap semakin diterima oleh masyarakat. Pada akhir pelita V diharapkan peserta KB yang menggunakan cara-cara kontasepsi modern akan meningkat menjadi 40,41% dan wanita bwrstatus kawin dengan rincian 26,47% menggunakan IUD, 6,36% menggunakan implant dan 7,58% menggunakn cara kontrasepsi mantap

Dengan meningkatnya peserta KB dengan metode kontrasepsi efektif terpilih tersebut, maka dituntut pelayanan yang lebih tinggi kualitasnya serta pengayoman yang lebih baik. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan serta pengayoman ini, system rujukan merupakansalah satu hal yang penting, yang perlu diketahui oleh setiap petugas atau setiap unsure yang ikut serta dalam gerakan KB Nasional khususnya maupun oleh setiap peserta atau calon peserta KB pada umumnya

Semakin rapi system rujukan, semakin meningkat pula mampu pelayanan serta pengayoman, sehingga dapat meningkatkan kemampuan peserta KB dengan metode kontrasepsi efektif.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

System rujukan dalam mekanisme pelayanan MKET merupakan suatu system pelimpahan tanggung jawab timbal balik diantara unit pelayanan MKET baik secra vertical maupun horizontal atau kasus atau masalah yang berhubungan dengan MKET

Unit pelayanan yang dimaksud disini yaitu menurut tingkat kemampuan dari yang paling sederhana berurut-turut keunit pelayanan yang paling mampu

Untuk AKDR : Dokter dan bidan praktek swasta, rumah bersalin, klinik KB, puskesmas, RS klas D RS klas D₊, RS klas C, RS klas B, RS klas B2, dan RS klas A

Untuk implant : Dokter dan bidan praktek swasta, Rumah Bersalin, Klinik KB, Puskesmas, RS klas D RS Klas D ₊, RS klas C, RS Klas B, RS Klas B2, dan RS klas A.

Untuk Vasektomi : Dokter praktek swasta, puskesmas,; RS klas D RS klas B, RS klas D₊, RS klas C, RS klas B, RS fklas B2, dan RS klas A

Untuk tubektomi : Dokter Praktek Swasta berkelompok, RS klas D, RS klas Df₊, RS klas C, RS klas B, RS klas B2, dan RS klas A

B. Tujuan

1. Terwujudnya suatu jaringan pelayanan MKET yang terpadu disetiap tingkat wilayah, sehingga setiap unit pelayanan memberikan pelayanan secara berhasil guna dan berdaya guna maksimal, sesuai dengan tingkat kemampuannya masing-masing

2. Peningkatan dukungan terhadap arah dan pendekatan gerakan KB Nasional dalam hal perluasan jangkauan dan pembinaan peserta KB dengan pelayanan yang makin bemutu tinggi serta pengayoman penuh kepada masyarakat

C. Jenis Rujukan

Rujukan MKET dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu sebagai berikut:

1. Pelimpahan Kasus

a. Pelimpahan kasus dari unit pelayanan MKET yang lebih sederhana ke unit pelayanan MKET yang lebih mampu dengan maksud memperoleh pelayanan yang lebih baik dan sempurna

b. Pelimpahan kasus dari unit pelayanan MKET yang lebih mampu ke unit pelayanan yang lebih sederhana dengan maksud memberikan pelayanan selanjutnya atas kasus tersebut

c. Pelimpahan kasus ke unit pelayanan MKET dengan tingkat kemampuan sama dengan pertimbangan geografis, ekonomi dan efisiensi kerja.

2. Pelimpahan pengetahuan dan keterampilan

Pelimpahan pengetahuan dan keterampilan ini dapat dilakukan dengan :

a. Pelimpahan tenaga dari unit pelayanan MKET yang lebih mampu ke unit pelayanan MKET yang lebih sederhana dengan maksud memberikan latihan praktis

b. Pelimpahan tenaga dari unit pelayanan MKET yang lebih sederhana ke unit pelayanan MKET yang lebih mampu dengan maksud memberikan latihan praktis

c. Pelimpahan tenaga ke unit pelayanan MKET dengan tingkat kemampuan sama dengan maksud tukar-menukar pengalaman

3. Pelimpahan bahan-bahan penunjang diagnostic

a. Pelimpahan bahan-bahan penunjang diagnostik dari unit pelayanan MKET yang lebih sederhana ke unit pelayanan MKET yang lebih mampu dengn maksud menegakkan diagnose yang lebih tepat

b. Pelimpahan bahan-bahan penunjang diagnostic dari unit pelayanan MKET yang lebih sederhana dengan maksud untuk dicobakan atau sebagai informasi

c. Pelimpahan bahan-bahan penunjang diagnostic ke unit pelayanan dengan tingkat kemampuan sama dengan maksud sebagai informasi atau untuk dicobakan

D. Sasaran Rujukan MKET

1. Sasaran obyektif

a. PUS yang akan memperoleh pelayanan MKET

b. Peserta KB yang akan ganti cara ke MKET

c. Peserta KB MKET untuk mendapatkan pengamatan lanjutan

d. Peserta KB yang mengalami komplikasi atau kegagalan pemakaian MKET

e. Pengetahuan dan keterampilan MKET

f. Bahan-bahan penunjang diagnostic

2. Sasaran subyektif

Petugas-petugas pelayanan MKET disemua tingkat wilayah.

E. Jaringan rujukan MKET

1. Dokter/bidan praktek swasta, Rumah Bersalin dengan kewajiban

a. Merujuk kasus-kasus yang tidak mampu ditanggulangi sendiri keunit pelayanan MKET yang lebih mampu dan terdekat

b. Menerima kembali untuk tindakan lebih lanjut kasus yang dikembalikan oleh unit pelayanan MKET yang lebih mampu

c. Mengadakan konsultasi dengan mengusahakan kunjungan ke unit pelayanan yang lebih mampu untuk meningkatkan pengetahuan pelayanan yang lebih mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

d. Mengusahaan kunjungan tenaga dari unit pelayanan MKET yang lebih mampu untuk pembinaan tugas dan pelayanan MKET

2. Unit pelayanan MKET tingkat kecamatan (puskesmas) yang mempunyai kewajiban sebagai berikut:

a. Menerima dan menanggulangi kasus rujukan dari unit pelayanan MKET

b. Meengirim kembali kasus yang sudah ditanggulangi untuk dibina lebih lanjut oleh unit pelayanan MKET yang merujuk

c. Merujuk kasus-kasus yang tidak mampu ditanggulangi ke unit pelayanan MKET yang lebih mampu dan terdekat

d. Menerima kembali untuk pembunaan tindak lanjut kasus-kasus yang dikembalikan oleh unit pelayanan MKET yang lebih mampu

e. Mengadakan konsultasi dan mengadakn kunjungan ke unit pelayanan yang lebih mampu untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

f. Mengusahakan adanya kunjungan tenaga dari unit pelayanan MKET yang lebih mampu untuk pembinaan petugas dan pelayanan masyarakat

g. Mengirim bahan-bahan penunjang diagnostic ke unit pelayanan MKET yang lebih mampu, jika tidak dapat melakukan pemeriksaan diagnose yang lebih tepat

h. Menerima kembli hasil pemeriksaan bahan-bahan diagnosik yang sebelumnya dikirim ke unit pelayanan MKET yang lebih mampu

3. Unit pelayanan MKET tingkat kabupaten/kotamadya (RS klas D,RS klas D₊, RS klas C).

a. Menerima dan menanggulangi kasus rujukan dari unit pelayanan MKET dibawahnya. Pelayanan

b. Mengirim kembali kasus yang sedang ditanggulangi untuk dibina lebih lanjut oleh unit pelayanan MKET yang merujuk

c. Merujuk kasus-kasus yang tidak mampu ditanggulangi ke unit pelayanan MKET yang lebih mampu dan terdekat

d. Kasus kembali untuk pembunaan tindak lanjut kasus-kasus yang dikembalikan oleh unit pelayanan MKET yang lebih mampu

e. Mengadakan konsultasi dan mengadakan kunjungan ke unit pelayanan yang lebih mampu untuk pembinaan petugas dan pelayanan masyarakat

f. Mengusahakan adanya kunjungan tenaga dari unit pelayanan MKET yang lebih mampu untuk pembinaan petugas dan pelayanan masyarakat

g. Mengirim bahan-bahan penunjang diagnostic ke unit pelayanan MKET yang lebih mampu, jika tidak mampu melakukan pemeriksaan sendiri atau jika hasilnya meragukan untuk menegakkan diagnose yang lebih tepat

h. Menerima kembali hasil pemeriksaan bahan-bahan diagnostic yang sebelumya dikirim ke unit pelayanan MKET yang lebih mampu

4. Unit pelayanan mKET tingkat provinsi (RS klas C, RS klas B, RS klas B2).

a. Menerima dan menanggulangi kasus rujukan dari unit pelayanan MKET dibawahnya

b. Mengirim kembali kasus yang sudah ditanggulangi untuk dibina lebih lanjut oleh unit pelayanan MKET yang merujuk

c. Menerima konsultasi dan latihan petugas pelayanan MKET dari Unit pelayanan MKET dibawahnya

d. Mengusahakan dilaksanakannya kunjungan tenaga/spesialis keunit pelayanan MKET yang kurang mampu untuk pembinaan petugas dan pelayanan masyarakat

e. Menerima rujukan bahan-bahan penunjang diagnostic

f. Mengirimkan hasil pemeriksaan bahan-bahan penunjang diagnostic tersebut diatas

5. Unit pelayanan MKET tingkst pusat (RS klas A)

a. Menerima dan menanggulangi kasus rujukan dari unit pelayanan MKET dibawahnya

b. Mengirim kembali kasus yang sudah ditanggulangi untuk dibina lebih lanjut oleh unit pelayanan MKET yang merujuk

c. Menerima konsultasi dan latihan petugas pelayanan MKET dari unit pelayanan MKET dibawahnya

d. Mengusahakan dilaksanakannya kunjungan tenaga/spesialis ke unit pelayanan MKET yang kurang mampu untuk pembinaan petugas dan pelayanan masyarakat

e. Menerima rujukan bahan-bahan penunjang diagnostic

f. Mengirimkan hasil pemeriksaan bahan-bahan penunjang diagnostic tersebut diatas

F. Mekanisme (TATA CARA) Rujukan

1. Rujukan kasus

a. Unit pelayanan yang merujuk

1) Unit pelayanan MKET yang merujuk kasus ke unit pelayanan yang lebih mampu.

Unit pelayanan bisa merujuk kasus ke unit pelayanan yang lebih mampu setelah melakukan proses pemeriksaan dan dengan hasil sebagai berikut

a) Berdasarkan pemeriksaan penunjang diagnostic kasus tersebut tidak dapat diatasi

b) Perlu pemeriksaan penunjang diagnostic yang lebih lengkap dengan memerlukan kedatangan penderita ybs

c) Setelah dirawat dan diobati ternyata penderita masih memerlukan perawatan dan pengobatan di unit pelayanan yang lebih mampu

2) Unit pelayanan yang merujuk kasus ke unit pelayanan yang lebih sederhana

Unit pelayanan yang merujuk kasus ke unit pelayanan yang lebih sederhana:

a) Setelah melakukan pemeriksaan dengan atau tanpa pemeriksaan penunjang diagnostic, terhadap penderita ternyata pengobatan dan perawatan dapat dilakukan di unit pelayanan yang lebih sederhana

b) Setelah melakukan pengobatan dan perawatan ternyata penderita masih melakukan pembinaan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh unit pelayanan yang lebih sederhana

3) Unit pelayanan yang merujuk kasus ke unit pelayanan dengan kemampuannya yang sama.

Unit pelayanan dapat merujuk ke unit pelayanan dengan kemampuan sama jika:

a) Setelah melakukan pemeriksaan dengan atau tanpa pemeriksaan penunjang diagnostic, ternyata untuk kemudahan penderita pengobatan dan perawatan dapat dilakukan di unit pelayanan yang lebih dekat

b) Setelah melakukan pengobatan dan perawatan, penderita masih memerlukan pembinaan lanjutan di unit pelayanan yang lebih dekat

b. Unit pelayanan yang menerima rujukan

1) Unit pelayanan yang menerima rujukan dari unit pelayanan yang lebih sederhana.

a) Sesudah melakukan pemeriksaan penunjang diagnostic, dapat mengirimkan kembali penderita ke unit pelayanan yang merujuk untuk perawatan dan pengobatan

b) Sesudah melakukan perawatan dan pengobatan, dapat mengirimkan kembali penderita ke unit pelayanan yang merujuk untuk pembinaan lebuh lanjut

2) Unit pelayanan yang menerima rujukan dari unit pelayanan yang lebih mampu

a) Melakukan perawatan dan pengobatan penderita yang dirujuk, atau;

b) Melakukan pembinaan lanjutan terhadap penderita yang dirujuk

3) Unit pelayanan yang menerima rujukan dari unit pelayanan dengan kemampuan sama.

a) Melakukan perawatan dan pengobatan penderita yang dirujuk, atau;

b) Melakukan pembinaan lanjutan terhadap penderita yang dirujuk

2. Rujukan bahan-bahan penunjang diagnostic

a. Unit pelayanan yang merujuk

1) Unit pelayanan yang merujuk ke unit pelayanan yang lebih mampu

a) Jika tidak mampu melakukan pemeriksaan sendiri terhadap bahan-bahan penunjang diagnostic tersebut

b) Jika hasil pemeriksaan terhadap bahan-bahan penunjang diagnostic tersebut meragukan

2) Unit pelayanan yang merujuk ke unit pelayanan yang lebuh sederhana, jika hasil pemeriksaan bahandiagnostik tersebut perlu diinformasikan dan pemeriksaan bahan diagnostic tersebut akan dicobakan di unit pelayanan yang dirujuk

3) Unit pelayanan yang merujuk kasus ke unit pelayanan dengn kemampuan yang sama jika hasil pemeriksaan bahan diagnostic tersebut perlu diinformasikan dan pemerikaan bahan diagnostic tersebut akan dicobakan di unit pelayanan yang dirujuk

b. Unit pelayanan yang menerima rujukan

1) Unit pelayanan yang menerima rujukan dari unit pelayanan yang lebih sederhana perlu melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:

a) Melakukan pemeriksaan bahan-bahan penunjang diagnostic yang dirujuk.

b) Mengirimkan hasil pemeriksaan bahan-bahan penunjang diagnostic kepada unit pelayanan yang merujuk.

2) Unit pelayanan yang menerima bahan-bahan penunjang diagnostic dari unit pelayanan yang lebih mampu, perlu melakukan tindakan.” Mencoba pemeriksaan yang lebih mampu, perlu melakukan yang dirujuk”

3) Unit pelayanan yang menerima bahan penunjang diagnostic dari unit pelayanan dengan kemampuan yang setingkat, perlu melakukan tindakan.

Mencoba pemeriksaan bahan-bahan penunjang diagnostic yang dirujuk.

3. Rujukan kemampuan dan keterampilan

a. Unit pelayanan yang merujuk

1) Unit pelayanan yang merujuk ke unit pelayanan yang lebih mampu

a) Melakukan konsultasi

b) Mengirimkan tenaga-tenaga untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan

c) Mengusahakan adanya kunjungan tenaga dari unit pelayanan yang lebih mampu

2) Unit pelayanan yang merujuk ke unit pelayanan yang lebih sedderhana.

a) Mengirimkan tenaga-tenaga ahli atau spesialis untuk membina petugas unit pelayanan yang merujuk

b) Mengirimkan informasi tentang pengetahuan baru ke unit pelayanan yang dirujuk.

3) Unit pelayanan yang merujuk ke unit pelayanan dengan kemampuan setingkat

Mengirimkan informasi tentang pengalaman-pengalaman

b. Unit pelayanan yang menerima rujukan

1) Unit pelayanan yang menerima rujukan dari unit pelayanan yang lebih sederhana

a) Memberikan informasi

b) Memberikan latihan –latihan pada tenaga yang dikirimkan

c) Mengirimkan kunjungan tenaga-tenaga yang diperlukan oleh unit pelayanan yang dirujuk

2) Unit pelayanan yang menerima rujukan dari unit pelayanan yang lebih mampu

a) Memanfaatkan tenaga-tenaga yang dikirim oleh unit pelayanan yang merujuk untuk pembinaan petugas masyarakat

b) Memanfaatkan informasi yang dikirimkan oleh unit pelayanan yang merujuk untuk pembinaan petugas

3) Unit pelayanan yang menerima rujukan dari unit pelayanan dengan kemampuan setingkat

Memanfaatkan informasi tentang pengalaman dari unit pelayanan yang merujuk untuk pembinaan petugas.

G. PENCATATAN DAN PELAPORAN RUJUKAN

1. Unit pelayanan yang merujuk

a. Mencatat penderita yang dirujuk dalam register klinik.

b. Membuat surat pengiriman penderita

c. Melaporkan jumlah penderita yang dirujuk dalam laporan bulanan klinik

2. Unit pelayanan yang menerima rujukan

a. Membuat tanda terima penderita

b. Mencatat penderita dalam register klinik

c. Memberikan informasi kepada unit pelayanan yang merujuk, jika penderita yang dirujuk tidak perlu perawatan, pengobatan atau pembinaan lanjut dari unit-unit pelayanan yang merujuk

d. Membuat surat pengiriman kembali serta memberikan informasi kepada unit pelayanan yang merujuk tentang pemeriksaan yang dilakukan terhadap penderita, bila penderita yang dirujuk perlu perawatan dan pengobatan di unit pelayanan yang merujuk

e. Membuat surat pengiriman kembali dan memberikan informasi kepada unit pelayanan yang merujuk tentang pemeriksaan dan perawatan serta pengobatan yang diberikan kepada penderita yang dirujuk, jika penderita memerlukan pembinaan lanjut unit pelayanan yang merujuk

H. PENGELOLAAN BANTUAN BIAYA PENANGGULANGAN KOMPLIKASI, KEGAGALAN DAN BIAYA RUJUKAN

1. Bantuan biaya

Diberikan kepada peserta KB yang mengalami efek samping komplikasi maupun kegagalan :

a. Efek samping, dengan memberikan obat-obat efek samping secara gratis

b. Kasus kegagalan AKDR, implant dan kontrasepsi mantap dengan kelahiran normal mendapat bantuan biaya yang disesuaikan dengan peraturan daerah setempat dengan ketentuan tarif rumah sakit pemerintah kelas 3

c. Yang dimaksud dengan komplikasi/ kasus kegagalan yang disertai komplikasi AKDR, Implant dan kontrasepsi mantap misalnya:

1) Infeksi berat yang memerlukan perawatan

2) Perdarahan berat yang memerlukan perawatan

3) Tindakan pemeriksaan roentgen dan laboratorium untuk membantu diagnosis

4) Komplikasi yang memerlukan tindakan operasi

5) Berdasarkan biaya komplikasi disesuaikan dengan peraturan daerah setempat dengan ketentuan tariff Rumah Sakit Pemerintah kelas 3, termasuk biaya obat-obatan terpakai

d. Kasus komplikasi/kegagalan yang memerlukan rujukan. Apabila peserta KB yang mengalami komplikasi/kegagalan harus dirujuk dari unit pelayanan yang lebih rendah ke unit pelayanan KB yang lebih tinggi, bantuan biaya transport penderita ditanggung sesuai dengan peraturan yang ada. Semua kasus efek samping, komplikasi serta kegagalan tersebut diatas dapat dilayani di semua tempat pelayanan tidak dibatasi pada domisili/tempat tinggal peserta KB yang bersangkutan.

e. Peserta KB yang mengalami kegagalan/komplikasi dan mencari jasa pelayanan/perawatan swasta yang tidak ditunjuk untuk itu (seperti dokter swasta, RB/RS swasta) dianggap untuk menanggulangi dengan kemampuannya sendiri. Bagi mereka dipandang tidak perlu diberikan bantuan biaya atau maksimal hanya diberikan bantuan minimum, kecuali untuk kasus-kasus gawat darurat seperti misalnya pemakaian IUD dengan kehamilan diluar kandungan dengan perdarahan dalam keadaan pre shock.

2. Prosedur

a. Efek sampingan

Pengadaan obat-obat efek samping dilaksanakan secara terkoordinir ditingkat propinsi antara BKKBN dengan unit pelaksana sesuai rencana kebutuhan yang telah disepakati. Sedangkan distribusinya dilaksanakan melalui BKKBN kabupaten/kodya dan alokasinya (penjatahannya) pada masing-masing klinik KB dibicarakan bersama dengan unit pelaksana Kabupaten/Kodya yang bersangkutan

b. Komplikasi dan kegagalan

Bantuan biaya komplikasi dan kegagalan yang disebabkan pemakaian alat kontrasepsi diambil di BKKBN kabupaten/kodya oleh:

1) Tempat pelayanan (Rumah Sakit/Puskesmas/PKBRS).

2) Dalam keadaan khusus oleh pasien/suami pasien/ orang lain yang diberi kuasa secara tertulis

3) Pengambilan bantuan biaya penanggulangan kegagalan/komplikasi pemakaian kontrasepsi dengan menyerahkan kwitansi bukti pembayaran kegagalan/komplikasi pemakaian alat kontrasepsi disertai dengan surat keterangan diagnosa dari dokter yang merawat serta surat keterangan dari KKb tempat pemasangan kontrasepsinya, dan surat pernyataan pasien bahwa sudah mendapat perawatan dan pengobatan dan sudah/belum membayar

4) Rumah Sakit/Puskesmas/PKBRS dapat mengajukan uang muka ke BKKBN kab/kodya. Penyaluran uang mula selanjutnya kepada BKKBN Dati II setempat

C. Rujukan kasus

1. Surat pengiriman rujukan dari unit pelayanan yang merujuk

2. Tanda terima pasien oleh unit pelayanan yang menerima rujukan

3. K/I/KB dan surat pernyataan klinik KB tempat pemasangan kontrasepsi

DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin Bari Abdul.2006. buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo, Jakarta.

2. _1992. Metodekontrasepsiefektif terpilih, badan koordinasi keluarga berencana nasional, Jakarta.

http://mulkasem.blogspot.com/2011/02/pencatatan-dan-pelaporan-kb.html

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

makalah PEMBINAAN KADER

Kader kesehatan masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang dipilih oleh masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah-masalah kesehatan perseorangan maupun masyarakat untuk berkerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian pelayanan kesehatan.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

Kader merupakan tenaga masyarakat yang dianggap paling dekat dengan masyarakat departemen kesehatan membuat kebijakan mengenai latihan untuk kader yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan, menurunkan angka kematian ibu dan anak. Para kader kesehatan masyarakat itu seyogyanya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup sehingga memungkinkan mereka untuk membaca, menulis dan menghitung secara sedarhana.

Kader kesehatan masyarakat bertanggung jawab atas masyarakat setempat serta pimpinan yang ditujuk oleh pusat-pusat pelayanan kesehatan. Diharapkan mereka dapat melaksanakan petunjuk yang diberikan oleh para pembimbing dalam jalinan kerja dari sebuah tim kesehatan.

Para kader kesehatan masyarakat untuk mungkin saja berkerja secara fullteng atau partime dalam bidang pelayanan kesehatan dan mereka tidak dibayar dengan uang atau bentuk lainnya oleh masyarakat setempat atau oleh puskesmas. Namun ada juga kader kesehatan yang disediakan sebuah rumah atau sebuah kamar serta beberapa peralatan secukupnya oleh masyarakat setempat.

2.Peran Fungsi Kader

Peran dan fungsi kader sebagai pelaku penggerakan masyarakat:

a.perilaku hidup bersih dan sehat

b.pengamatan terhadap masalah kesehatan didesa

c.upaya penyehatan dilingkungan

d.peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita

e.permasyarakatan keluarga sadar gizi

Kader di tunjukan oleh masyarakat dan biasanya kader melaksanakan tugas-tugas kader kesehatan masyarakat yang secara umum hampir sama tugasnya dibeberapa Negara yaitu:

1. pertolongan pertama pada kecelakaan dan penanganan penyakit yang ringan

2. melaksanakan pengobatan yang sederhana

3. pemberian motivasi dan saran-saran pada ibu-ibu sebelum dan sesudah melahirkan

4. menolong persalinan

5. pemberian motivasi dan saran-saran tentang perawatan anak

6. memberikan motivasi dan peragaan tentang gizi

7. program penimbangan balita dan pemberian makanan tambahan

8. pemberian motivasi tentang imunisasi dan bantuan pengobatan

9. melakukan penyuntikan imunisasi

10.pemberian motivasi KB

11.membagikan alat-alat KB

12.pemberian motivasi tentang sanitasi lingkungan,kesehatan perorangan dan kebiasaan sehat secara umum.

13.pemberian motivasi tentang penyakit menular,pencegahan dan perujukan.

14.pemberian motivasi tentangperlunya fall up pada penyakit menular dan perlunya memastikan diagnosis.

15.penenganan penyakit menular.

16.membantu kegiatan di klinik.

17.merujuk penderita kepuskesmas atau ke RS

18.membina kegiatan UKS secara teratur

19.mengumpulkan data yang dibutuhkan oleh puskesmas membantu pencatatan dan pelaporan.

3.pembentukan kader

Mekanisme pembentukan kader membutuhkan kerjasama tim. Hal ini disebabkan karena kader yang akan dibentuk terlebih dahulu harus diberikan pelatihan kader. Pelatihan kader ini diberikan kepada para calon kader didesa yang telah ditetapkan. Sebelumnya telahdilaksanakan kegiatan persiapan tingkat desa berupa pertemuan desa, pengamatan dan adanya keputusan bersama untuk terlaksanakan acara tersebut. Calon kader berdasarkan kemampuan dan kemauan berjumlah 4-5 orang untuk tiap posyandu. Persiapan dari pelatihan kader ini adalah:

a. calon kader yang kan dilatih

b. waktu pelatihan sesuai kesepakatan bersama

c. tempat pelatihan yang bersih, terang, segar dan cukup luas

d. adanya perlengkapan yang memadai

e. pendanaan yang cukup

f. adanya tempat praktik ( lahan praktik bagi kader )

Tim pelatihan kader melibatkan dari beberapa sector. Camat otomatis bertanggung jawab terhadap pelatihan ini, namun secara teknis oleh kepala puskesmas. Pelaksanaan harian pelatihan ini adalah staf puskesmas yang mampu melaksanakan. Adapun pelatihannya adalah tanaga kesehatan, petugas KB (PLKB), pertanian, agama, pkk, dan sector lain.

Waktu pelatihan ini membutuhkan 32 jam atau disesuaikan. Metode yang digunakan adalah ceramah, diskusi, simulasi, demonstrasi, pemainan peran, penugasan, dan praktik lapangan. Jenis materi yang disampaikan adalah:

a. pengantar tentang posyandu

b. persiapan posyandu

c. kesehatan ibu dan anak

d. keluarga berencana

e. imunisasi

f. gizi

g. penangulangan diare

h. pencatatan dan pelaporan

Strategi menjaga Eksistensi Kader

Setelah kader posyandu terbentuk, maka perlu ada nya strategi agar mereka dapat selalu eksis membantu masyarakat dibidang kesehatan.

a. refresing kader posyandu pada saat posyandu telah selesai dilaksanakan oleh bidan desa maupun petugas lintas sector yang mengikuti kegiatan posyandu

b. adanya perubahan kader posyandu tiap desa dan dilaksanakan pertemuan rutin tiap bulan secara bergilir disetiap posyandu

c. revitalisasi kader posyandu baik tingkat desa maupun kecamatan. Dimana semua kader di undang dan diberikan penyegaran materi serta hiburan dan bisa juga diberikan rewards.

d. Pemberian rewards rutin misalnya berupa kartu berobat gratis kepuskes untuk kader dan keluarganya dan juga dalam bentuk materi yang lain yang diberikan setiap tahun

Para kader kesehatan yang bekerja dipedesaan membutuhkan pembinaan atau pelatihan dalam rangka menghadapi tugas-tugas mereka, masalah yang dihadapinya.

Pembinaan atau pelatihan tersebut dapat berlangsung selama 6-8 minggu atau bahkan lebih lama lagi. Salah satu tugas bidan dalam upaya menggerakkan peran serta masyarakat adalah melaksanakan pembinaan kader.

Adapun hal-hal yang perlu disampaikan dalam pembinaan kader adalah :

a. Pemberitahuan ibu hamil untuk bersalin ditenaga kesehatan ( promosi bidan siaga)

b. Pengenalan tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas serta rujukannya.

c. Penyuluhan gzi dan keluarga berencana

d. Pencatatan kelahiran dan kematian bayi atau ibu

e. Promosi btabulin, donor darah berjalan,ambulan desa,suami siaga,satgas gerakan saying ibu.

Pembinaan kader yang dilakukan bidan didalamnya berisi tentang perran kader adalah dalam daur kehidupan wanita dari mulai kehamilan sampai dengan masa perawatan bayi. Adapun hal-hal yang perlu disampaikan dalam persiapan persalinan adalah sebagai berikut :

a. Sejak awal, ibu hamil dan suami menentukan persalinan ini ditolong oleh bidan atau dokter

b. Suami atau keluarga perlu menabung untuk biaya persalinan.

c. Ibu dan suami menanyakan kebidan atau kedokter kapan perkiraan tanggal persalinan

d. Jika ibu bersalin dirumah, suami atau keluarga perlu menyiapkan terang, tempat tidur dengan alas kain yang bersih, air bersih dan sabun untuk cuci tangan, handuk kain, pakaian kain yang bersih dan kering dan pakaian ganti ibu.

Pembinaan kader yang dilakukan bidan yang berisi tentang peran kader dalam deteksi dini tanda bahaya dalam kehamilan maupun hal-hal berikut ini.

Perdarahan ( hamil muda dan hamil tua)

· Bengkan dikaki, tangan, wajah, atau sakit kepala kadang disertai kejang

· Demam tinggi

· Keluar air ketuban sebeleum waktunya

· Bayi dalam kandungan gerakannya berkurang atau tidak bergerak

· Ibu muntah terus dan tidak mau makan

 

A Pengenalan tanda bahaya kehamilan, persalinan, nifas serta rujukan

1. Tanda-tanda bahaya kehamilan

Pada setiap kehamilan perlu di informasikan kepada ibu, suami dan keluarga tentang timbulnya kemungkinan tanda-tanda bahaya dalam kehamilan.

Adanya tanda-tanda bahaya mengharuskan ibu, suami / keluarga untuk segera membawah ibu kepelayanan kesehatan / memanggil bidan.

Tanda-tanda bahaya kehamilan meliputi :

1. perdarahan jalan lahir

2. kejang

3. sakit kepala yang berlebihan

4. muka dan tangan bengkak

5. demam tinggi menggigil / tidak

6. pucat

7. sesak nafas

2. Tanda-tanda kegawatan dalam persalinan

sebagai akibat dari permasalahan dalam persalinan, kegawatan dalam persalinan dapat terjadi dengan tanda-tanda sebagai berikut :

1. perdarahan

2. kejang

3. demam, menggigil, keluar lender dan berbau

4. persalinan lama

5. mal presentase

6. plasenta tidak lahir dalam 30 menit

3. Kegawatan masa nifas

Pada masa segera setelah persalinan, kegawatan dapat terjadi baik pada ibu ataupun bayi. Kegawatan yang dapat mengancam keselamatan ibu baru bersalin adalah perdarahan karena sisa plasenta dan kontraksi serta sepsis (demam). Pada bayi yang baru dilahirkan dapat terjadi depresi bayi dan atau trauma.

Bila terjadi kegawatan pada ibu / bayi beri tahu ibu, suami dan keluarga tentang tatalaksanaan yang dikerjakan dan dampak yang dapat ditimbulkan dari tatalaksana tersebut. Serta persiapan tindakan rujukan. Tindakan ini perlu untuk melibatkan ibu, suami dan keluarga sehingga tercapai suatu kerjasama yang baik.

Apabila ibu dan bayi sudah berada dirumah, informasikan kepada ibu, suami dan keluarga bahwa adanya tanda-tanda kegawatan mengharuskan ibu untuk dibawah segera kesarana pelayanan kesehatan atau menghubungi bidan.

Tanda-tanda kegawatan masa nifas pada ibu.

Tanda-tanda kegawatan masa nifas pada ibu yang perlu diperhatikan meliputi :

1. perdarahan banyak atau menetap

2. rasa lelah yang sangat, mata, bibir dan jari pucat

3. bengkak pada salah satu atau kedua kaki

4. rasa sakit pada perut berlebihan dan lokia berbau busuk atau berubah warna.

5. pucat, tangan dan kaki dingin (syok)

6. tidur turun dratis

7. kejang

8. sakit kepala berlebihan / gangguan pandangan

9. bengkak pada tangan dan muka

10. peningkatan tekanan darah

11. buang air kecil sedikit / berkurang dan sakit

12. tidak mampu menahan BAK / ngompol

13. demam tanpa atau dengan menggigil

14. adanya kesedihan yang mendalam, kesulitan dalam tidur, makan dan merawat bayi.

Adanya salah satu tanda kegawatan tersebut mengharuskan ibu mendapatkan pelayanan dari bidan / mencari pertolongan kesarana pelayanan kesehatan.

Tanda-tanda kegawatan masa nifas pada bayi

Pada bayi sebagian besar penyebab kematian adalah karena infeksi, asveksia dan trauma pada bayi. Pengenalan tanda-tanda kegawatan pada bayi perlu untuk dilakukan penatalaksanaan lebih dini yang sesuai yang dapat menurunkan kematian tersebut.

Kegawatan bayi dapat terjadi hari-hari pertama masa nifas dan perlu pertolongan segera ataupun dalam 7 hari pertama masa nifas yang juga memerlukan pertolongan disarana pelayanan kesehatan.

Kegawatan bayi beberapa hari setelah persalinan harus segera dibawah kesarana pelayanan kesehatan / hubungi bidan :

1. bayi sulit bernafas

2. warna kulit dan mata kuning

3. pernafasan lebih dari 60 x / menit

4. kejang

5. pendarahan

6. demam

7. bayi tidur sepanjang malam dan tidak mau menetek sepanjang hari.

8. tidak dapat menetek (mulut kaku)

kegawatan bayi 7 hari pertama masa nifas yang membutuhkan perawatan bidan / dibawah kesarana pelyanan kesehatan secepatnya :

1. hypothermia

2. pucat / kurang aktif

3. diare / konstipasi

4. kesulitan dalam menetek

5. mata merah dan bengkak / nanah

6. merah pada tali pusat / tercium bau

4. Rujukan

Rujukan dalam kondisi optimal dan tepat waktu kepfasilitas rujukan / fasilitas yang memiliki sarana lebih lengkap, diharapkan mampu menyelamatkan jiwa para ibu dan bayi baru lahir. Meskipun sebagian besar ibu akan mengalami persalinan normal namun 10 sampai 15 % diantaranya akan mengalami masalah selama proses persalinan dan kelahiran bayi sehingga perlu dirujuk kefasilitas kesehatan rujukan. Sangat sulit untuk menduga kapan penyakit akan terjadi sehingga kesiapan untuk merujuk ibu dan atau bayinya kefasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu (jika penyulit terjadi) menjadi saran bagi keberhasilan upaya penyelamatan, setiap penolong persalinan harus mengetahui lokasi fasilitas rujukan yang mampu untuk menatalaksana kasus gawat darurat obstetri dan bayi baru lahir seperti :

1. pembedahan termasuk bedah sesar

2. transfuse darah

3. persalinan menggunakan ekstraksi fakum / cunam

4. pemberian anti biotik intravena

5. resusitasi BBL dan asuhan lanjutan BBL

informasi tentang pelayanan yang tersedia ditempat rujukan, ketersediaan pelayanan purna waktu, biaya pelayanan dan waktu serta jarak tempuh ketempat rujukan dadlah wajib untuk diketahui oleh setiap penolong persalinan jika terjadi penyulit, rujukan akan melalui alur yang singkat dan jelas. Jika ibu bersalin / BBL dirujuk ketempat yang tidak sesuai maka mereka akan kehilangan waktu yang sangat berharga untuk menangani penyakit untuk komplikasi yang dapat mengancam keselamatan jiwa mereka pada saat ibu melakukan kunjungan antenatal,jelaskan bahwa penolong akan selalu berupaya dan meminta bekerja sama yang baik dari suami / keluaga ibu untuk mendapatkan layanan terbaik dan bermanfaat bagi kesehatan ibu dan bayinya,termasuk kemungkinan perlunya upaya rujukan pada waktu penyulit,seringkali tidak cukup waktu untuk membuat rencana rujukan dan ketidaksiapan ini dapat membahayakan keselamatan jiwa ibu dan bayinya. Anjurkan ibu untuk membahas dan membuat rencana rujukan bersama suami dan keluarganya. Tawarkan agar penolong mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan suami dan keluarganya untuk menjelaskan tentang perlunya rencana rujukan apabila diperlukan.

Masukan persiapan-persiapan dan informasi berikut kedalam rencana rujukan :

1. siapa yang akan menemani ibu dan BBL

2. tempat-tempat rujukan mana yang lebih disukai ibu dan keluarga? (jika ada lebih dari satu kemungkinan tempat rujukan, pilih tempat rujukan yang paling sesuai berdasarkan jenis asuhan yang diperlukan)

3. sarana transportasi yang akan digunakan dan siapa yang akan mengendarainya ingat bahwa transportasi harus segera tersedia, baik siang maupun malam.

4. orang yang ditunjuk menjadi donor darah jika transfuse darah diperlukan.

5. uang yang disisihkan untuk asuhan medik, transportasi, obat-obatan dan bahan-bahan.

6. siapa yang akan tinggal dan menemani anak-anak yang lain pada saat ibu tidak dirumah.

Kaji ulang rencana rujukan dengan ibu dan keluarganya. Kesempatan ini harus dilakukan selama ibu melakukan kunjungan asuhan antenatal / diawal persalinan (jika mungkin). Jika ibu belum membuat rencana rujukan selama kehamilannya, penting untuk dapat mendiskusikan rencana tersebut dengan ibu dan keluarganya diawal persalinan. Jika timbul masalah pada saat persalinan dan rencana rujukan belum dibicarakan maka sering kali sulit untuk melakukan semua persiapan-persiapan secara cepat. Rujukan tepat waktu merupakan unggulan asuhan saying ibu dalam mendukung keselamatan ibu dan BBL.

Singkatan BAKSOKU dapat digunakan untuk mengingat hal-hal penting dalam mempersiapkan rujukan untuk ibu dan bayi.

B (Bidan) :pastikan bahwa ibu dan bayi baru lahir didampingi oleh penolong persalinan yang kompeten untuk menatalaksana gawat darurat obstetri dan BBL untuk dibawah kefasilitas rujukan.

A (Alat) :bawah perlengkapan dan bahan-bahan untuk asuhan persalinan, masa nifas dan BBL (tabung suntik, selang iv, alat resusitasi, dll) bersama ibu ketempat rujukan. Perlengkapan dan bahan-bahan tersebut mungkin diperlukan jika ibu melahirkan dalam perjalanan menuju fasilitas rujukan.

K (Keluarga) :beri tahu ibu dan keluarga mengenai kondisi terakhir ibu dan bayi dan mengapa ibu dan bayi perlu dirujuk. Jelaskan pada mereka alas an dan tujuan merujuk ibu kefasilitas rujukan tersebut. Suami / anggota keluarga yang lain harus menemani ibu dan BBL hingga kefasilitas rujukan.

S (Surat) :berikan surat ketempat rujukan. Surat ini harus memberikan identifikasi mengenai ibu dan BBL, cantumkan alas an rujukan dan uraikan hasil penyakit, asuhan / obat-obatan yang diterima ibu dan BBL. Sertakan juga partograf yang dipakai untuk membuat keputusan klinik

O (Obat) :bawa obat-obatan esensial pada saat mengantar ibu kefasilitas rujukan. Obat-obatan tersebut mungkin diperlukan selama diperjalanan.

K (Kendaraan) :siapkan kendaraan yang paling memungkinkan untuk merujuk ibu dalam kondisi cukup nyaman. Selain itu, pastikan kondisi kendaraan cukup baik untuk mencapai tujuan pada waktu yang tepat.

U (Uang) :ingatkan keluarga agar membawah uang dalam jumlah yang cukup untuk membeli obat-obatan yang diperlukan dan bahan-bahan kesehatan lain yang diperlukan selama ibu dan bayi baru lahir tinggal difasilitas rujukan.

DAFTAR PUSTAKA :

1. Bari saifudin, abdul. 2002. buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta : yayasan bina pustaka Sarwono Prawirohardjo.

2. Prof. Dr. Azwar, Azrul. MPH. 2002. asuhan persalinan normal. Jakarta : tim revisi edisi 2007.

http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com