adf.ly

Selasa, 13 September 2011

SKRIPSI AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI DALAM PELAYANAN PUBLIK (STUDI KASUS PELAYANAN KTP DAN KARTU KELUARGA DI KELURAHAN X)

(KODE : FISIP-AN-0013) : SKRIPSI AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI DALAM PELAYANAN PUBLIK (STUDI KASUS PELAYANAN KTP DAN KARTU KELUARGA DI KELURAHAN X)




BAB I
PENDAHULUAN


I.1. Latar Belakang Masalah
Gelombang reformasi telah bergulir menuntut perubahan dalam segala tatanan kehidupan kenegaraan. Salah satu latar belakang bergulirnya reformasi adalah masyarakat kecewa kepada pemerintah. Pemerintah tidak mampu memberikan pelayanan baik kepada masyarakat. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan sudah tidak memiliki haknya lagi. Semangat reformasi telah mewarnai pendayagunaan aparatur Negara dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi Negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan Negara dan pembangunan.
Salah satu aspek reformasi mendapat perhatian hingga kini adalah persoalan kebijakan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU 32/2004). Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, yang merupakan limpahan Pemerintah Pusat kepada Daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan tertentu seperti politik luar negeri, pertahanan dan keamanan moneter dan fiskal nasional masih diatur Pemerintah Pusat.
Pendelegasian kewenangan tersebut disertai dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka desentralisasi fiskal. Pendanaan kewenangan yang diserahkan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri dan mekanisme perimbangan keuangan Pusat-Daerah dan antar Daerah. Kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sedangkan pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui Dana Perimbangan yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus (Undang-Undang No. 33 tahun 2004).
Di kebanyakan negara berkembang, perhatian utama terhadap Good Governance dalam kaitan dengan penggunaan otoritas dan manajemen sektor publik, adalah pervasifnya korupsi yang cenderung menjadi karakter tipikal yang melekat. Bahkan di beberapa negara terbukti bahwa budaya korupsi telah begitu melekat di dalam birokrasi pemerintah yang justru ditandai oleh kelangkaan sumber daya. Dalam konteks itu, absennya akuntabilitas sangat menonjol dan menjadi satu karakter dominan budaya administrasi selama periode tertentu. (http : //skripsi-tesis. com/docs/akuntabilitas+dan+transparansi+dalam+pelayanan+publik)
Hingga sekarang ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai berbagai masalah seperti pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas, serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Dimana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan eksistensinya oleh rakyat. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik dimana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki "uang", dengan sangat mudah bisa mendapatkan segala yang diinginkan.
Apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang diskriminatif ini akan berpotensi menimbulkan konflik laten dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kemudian, terdapat kecenderungan di berbagai instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi tidak efektif, efisien dan ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan unit-unit pelayanan cenderung tidak memiliki responsibilitas, responsivitas, dan tidak representatif sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar dari paradigma pelayanan konvensional. Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani, dan bukannya untuk melayani (to serve). Padahal pemerintah menurut paradigma pelayanan prima seyogyanya melayani bukan dilayani. Adalah lebih baik, dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi perlu menyadari bahwa hakikat pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang (Mustopadidjaja AR, 2002)."
Menilik dari fungsi utama pemerintah yang merupakan penyelenggara pelayanan publik, seiring dengan tuntutan perkembangan sudah menjadi seharusnya pemerintah melakukan perbaikan dalam pelayanan publik tersebut. Akan tetapi dewasa ini, kepercayaan masyarakat/publik terhadap kinerja pemerintah atau birokrasi mengalami degradasi yang kian semakin parah oleh akibat dari lemahnya kinerja aparat-aparat pemerintahan/birokrasi. Kepercayaan dan kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika pemerintah/birokrasi yang seharusnya berperan menghadirkan pelayanan prima kepada publik menjadi didominasi dan ditentukan oleh rezim yang berkuasa sehingga menyebabkan kebalikan daripada pelayanan publik menjadi publiklah yang menjadi pelayan bagi birokrasi.
Semangat reformasi telah mewarnai pendayagunaan aparatur negara dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan, dengan mempraktekkan prinsip Good Governance. Terselenggaranya Good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa negara. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna, berhasil guna, dan bertanggung jawab.
Tata laksana pemerintahan yang baik adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi baik swasta maupun negeri untuk menentukan keputusan. Tata laksana pemerintahan yang baik ini walaupun tidak dapat menjamin sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna. Namun, apabila dipatuhi jelas dapat mengurangi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Tata laksana pemerintahan yang baik ini dapat dipahami dengan memberlakukan karakteristik dasarnya yaitu : partisipasi, penegakan hukum, transparasi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efesiensi dan efektifitas, serta profesionalisme. (http : //thamrin.wordpress.eom/2006/ll/l7/10-prinsip-good-governance)
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat, selain adanya pengaruh globalisasi. Pola lama penyelenggaraan pemerintah, kini sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan ini merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintah yang baik.
Banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat terhadap pelayanan dari pemerintah baik yang secara langsung maupun melalui media massa, seperti keluhan terhadap prosedur yang berbelit-belit, tidak adanya kepastian jangka waktu penyelesaian, besaran biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak adanya transparansi, dan sikap petugas ataupun pegawai yang kurang responsif. Hal-hal inilah yang menimbulkan citra yang buruk kepada pemerintah.
Padahal di sisi lainnya masyarakat merindukan pelayanan publik yang baik dengan adanya keseimbangan antara kekuasaan (power) yang dimiliki dengan tanggung jawab yang mesti diberikan kepada masyarakat yang dilayani. Pegawai Negeri sebagai aparat birokrasi selain sebagai aparatur negara dan abdi negara, memiliki peran sebagai abdi masyarakat. Sehingga kepada kepentingan masyarakatlah aparat birokrasi harusnya mengabdikan diri. Aparat birokrasi diharapkan memiliki jiwa pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik yang berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima sebab pelayanan publik merupakan salah satu fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh penyelenggaraan negara. Salah satu upaya Pemerintah adalah dengan melakukan penerapan prinsip-prinsip good governance (pemerintahan yang baik), yang diharapkan dapat memenuhi pelayanan yang prima terhadap masyarakat ataupun publik. Terwujudnya pelayanan publik (public service) yang berkualitas (prima) merupakan salah satu ciri kepemerintahan yang baik (good governance) sebagai tujuan dari pendayagunaan aparatur negara. Untuk itu, aparatur negara diharapkan semakin secara efisien dan efektif melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pengayoman kepada masyarakat (public) untuk mewujudkan terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance), serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Dan diharapkan melalui penerapan tata pemerintahan yang baik dapat mengembalikan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan.
Selain itu, untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas, transparan dan akuntabel antara lain telah ditetapkan Keputusan Menteri PAN Nomor. 26/KEP/M.PAN/6/2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Maksud ditetapkannya petunjuk teknis ini adalah sebagai acuan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas pelayanan, sementara tujuan ditetapkannya petunjuk teknis ini adalah untuk memberikan kejelasan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik dalam melaksanakan pelayanan publik agar berkualitas sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat, kinerjanya masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat antara lain dari banyaknya pengaduan dan keluhan dari masyarakat dan dunia usaha, baik melalui surat pembaca maupun media pengaduan lainnya, seperti menyangkut prosedur dan mekanisme kerja pelayanan yang berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, dan terbatasnya fasilitas, sarana, dan prasarana sehingga tidak menjamin kepastian (hukum, waktu, dan biaya), serta masih banyak praktek pungutan liar dan tindakan-tindakan yang berindikasikan penyimpangan dan KKN.
Buruknya kinerja pelayanan publik ini antara lain dikarenakan belum terlaksananya tranparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu, pelayanan publik harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel oleh setiap unit pelayanan instansi pemerintah karena kualitas kinerja birokrasi pelayanan publik belum memiliki implikasi yang luas dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Kelurahan X Kecamatan Y yang dalam hal ini sebagai pelaksana pelayanan publik yang langsung bersinggungan dengan masyarakat diharapkan mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance antara lain akuntabilitas dan transparansi.
Kelurahan sebagai tingkat paling rendah dalam struktur pemerintahan, harus dapat memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Para aparatur harus dapat memperlihatkan kinerja yang baik.
Namun kenyataan di lapangan sering dijumpai adanya berbagai keluhan dari masyarakat atas pelayanan yang diberikan oleh para aparatur pemerintah di kelurahan. Hal ini juga terjadi di Kelurahan X. Kurangnya keramahan pegawai dalam pengurusan berbagai keperluan administrasi menyebabkan masyarakat merasa tidak dilayani dengan baik. Selain itu pengurusan surat-surat seperti KTP dan KK yang seharusnya gratis dan selesai dalam jangka waktu seminggu, tidak terlaksana dengan baik. Pegawai kelurahan terkadang mengutip dana dari masyarakat dalam hal pengurusan KTP dan KK agar cepat siap. Kurangnya transparansi dalam hal biaya administrasi sangat dikeluhkan masyarakat. Masyarakat juga mengeluhkan prosedur dan mekanisme kerja pelayanan yang berbelit-belit, kurang informatif, kurang akomodatif, dan terbatasnya fasilitas, sarana, dan prasarana sehingga tidak menjamin kepastian (hukum, waktu, dan biaya), serta tindakan-tindakan yang berindikasikan penyimpangan dan KKN.
Kelurahan X juga tidak pernah menginformasikan suatu bentuk laporan pertanggungjawaban atas kinerja mereka kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak mengetahui apa-apa saja yang menjadi program kerja kelurahan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Transparansi dalam hal pelaksanaan kegiatan dan pemberian informasi juga sangat terbatas. Hal ini tentu saja membuat masyarakat kurang simpati dan kurang percaya atas kinerja para pegawai kelurahan.
Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengambil judul studi tentang "Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pelayanan Publik (Studi Kasus di Kelurahan X Kecamatan Y)."

1.2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dirumuskan yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : "Bagaimana akuntabilitas dan transparansi dalam pelayanan publik di Kelurahan X Kecamatan Y?"

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejauhmana implementasi prinsip-prinsip Good Governance khususnya prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pelayanan publik di Kelurahan X Kecamatan Y.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam pelayanan publik di Kelurahan X Kecamatan Y.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Secara Ilmiah
Untuk menambah khasanah ilmiah dan sumbangan bagi pengembangan dan penyempurnaan teori-teori dalam Ilmu Administrasi Negara khususnya dalam kaitannya dengan akuntabilitas dan transparansi dalam pelayanan publik.
2. Manfaat Secara Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah ataupun lembaga-lembaga lain yang membutuhkan serta menjadi acuan dalam melaksanakan prinsip-prinsip Good Governance.
3. Manfaat Secara Akademis
Sebagai suatu tahapan untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah dan menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah dan sebagai syarat untuk menyelesaikan studi Strata-1 di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X.

1.5. Defenisi Konsep
Konsep merupakan istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu kejadian, kelompok, atau individu yang menjadi pusat penelitian ilmu sosial (Singarimbun, 1983 : 33). Berdasarkan pengertian tersebut, maka penulis mengemukakan defenisi dari beberapa konsep yang digunakan, yaitu :
1. Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat maupun Daerah, dan di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Akuntabilitas berarti para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta, dan masyarakat madani memliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders). Yang menjadi indikator dalam mengukur akuntabilitas antara lain :
a. Akuntabilitas kinerja pelayanan publik, dilihat berdasarkan proses yang meliputi; tingkat ketelitian (akurasi), profesionalitas petugas, kelengkapan sarana dan prasarana, kejelasan aturan (termasuk kejelasan kebijakan atau peraturan perundang-undangan), dan kedisiplinan. Harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
b. Akuntabilitas biaya pelayanan publik, dipungut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
c. Akuntabilitas produk pelayanan publik, persyaratan teknis dan administratif harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi kualitas dan keabsahan produk pelayanan. Selain itu prosedur dan mekanisme kerja harus sederhana dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
3. Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi. Transparansi mempakan prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan lainnya, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan, dan pelaksanaan serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi mempakan upaya menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Yang menjadi indikator untuk mengukur transparansi ini antara lain :
a. Manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik
b. Prosedur pelayanan
c. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan
d. Rincian biaya pelayanan
e. Waktu penyelesaian pelayanan
f Pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab
g. Lokasi pelayanan
h. Janji pelayanan
i. Standar pelayanan publik
j. Informasi pelayanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar