Klasifikasi
Kingdom : Eubacterium
Filum : Coccobacillus
Kelas : Bacillus
Ordo : Coccobacillus
Famili : Alcaligenaceae
Genus : Bordetella
Spesies : Bordetella pertussis
http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com
Penyakit pertusis atau batuk rejan (whooping chough) atau batuk seratus hari merupakan penyakit akut saluran pernapasan yang ditandai dengan batuk paroksismal. Di dunia terjadi sekitar 30 sampai 50 juta kasus per tahun, dan menyebabkan kematian pada 300.000 kasus (data dari WHO). Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. 90 persen kasus ini terjadi di negara berkembang dan merupakan penyakit yang menular.
Penyakit ini disebabkan oleh Bordetella pertussis yang untuk pertama kalinya diasingkan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906. Penyakit-penyakit serupa berhasil ditemukan kemudian, yaitu yang disebabkan oleh Bordetella parapertussis dan Bordetella bronchiseptica. Standarisasi waksin serta penggunaannya secara luas sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Bakteri ini mengandung beberapa komponen yaitu Peitusis Toxin (PT), Filamentous Hemagglutinin (FHA), Aglutinogen, endotoksin, dan protein lainnya.
Morfologi dan Fisiologi
Boredetella pertussis berbentuk coccobacillus kecil-kecil, terdapat sendiri-sendiri, berpasangan, atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Pada isolasi primer, bentuk kuman biasanya uniform, tetapi setelah subkultur dapat bersifat pleomorfik.Bentuk koloni pada biakan agar yaitu smooth, cembung, mengkilap, dan tembus cahaya. Bentuk-bentuk filament dan batang-batang tebal umum dijumpai. Simpai dibentuk tapi hanya dapat dilihat dengan pewarnaan khusus, dan tidak dengan penggabungan simpai. Kuman ini hidup aerob, tidak membentuk H2S, indol serta asetilmetilkarbinol. Bakteri ini merupakan gram negative dan dengan pewarnaan toluidin biru dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
Pada Bordetella pertussis ditemukan dua macam toksin yaitu
- Endotoksin yang sifatnya termostabil dan terdapat dalam dinding sel kuman. Sifat endotoksin ini mirip dengan sifat endotoksin-endotoksin yang dihasilkan oleh kuman negative gram lainnya.
- Protein yang bersifat termolabil dan dermonekrotik. Toksin ini dibentuk di dalam protoplasma dan dapat dilepaskan dari sel dengan jalan memecah sel tersebut atau dengan jalan ekstraksi memakai NaCl.
Baik endotoksin maupun toksin yang termolabil tersbeut tidak dapat memancing timbulnya proteksi terhadap infeksi Bordetella pertussis. Peranan yang pasti daripada kedua toksin ini dalam pathogenesis pertusis belum diketahui.
Berbeda dengan spesies-spesies Hemophilus, kuman Bordetella dapat tumbuh tanpa adanya hemin (factor X) dan koenzim I (factor V). Pembiakan dilakukan pada perbenihan Bordet-gengou, dimana kuman-kuman ini tumbuh dengan membentuk koloni yang bersifat smooth, cembung, mengkilat, dan tembus cahaya. Kuman ini membentuk zona hemolisis. Sifat-sifat ini dapat ebrubah tergantung lingkungan dimana kuman ini dibiakkan, yang diikuti oleh perubahan-perubahan sifat antigenic serta virulensinya.
Struktur antigen
Proteksi terhadap infeksi oleh Bordetella pertussis merupakan respon imunoloik terhadap antigen (antigen-antigen) kuman. Sifat antigen protektif kuman ini tidak diketahui. Walaupun demikian, penelitian serologic yang ekstensif telah berhasil menemukan antigen-antigen yang penting. Diketahui adanya antigen permukaan O yang termostabil pada smooth strains dan rough strains Bordetella pertussis. Antigen O ini berupa protein, mudah diekstraksi dari sel dan terdapat di dalam cairan supernatant biakan kuman.
Antigen-antigen serta factor-faktor lainnya seperti HLT (heat-labile toxin), lipopolisakarida (endotoksin), HSF (histamine-sensitizing factor), LPF (lymphocytosis-promoting factor), MPF (mouse-protective factor), hemaglutinin dan agaknya juga IAP (islet-activating protein) adalah sangat erat kaitannya dengan infeksi, penyakit dan kekebalan.
Epidemiologi
Penyakit pertusis tersebar di seluruh dunia dan mudah sekali menular. Manusia merupakan satu-satunya sumber Bordetella pertussis, dan penyebaran penyakit ini hampir selalu disebabkan oleh orang-orang dengan infeksi aktif. Banyak kasus terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun, sebagian besar meninggal pada usia 1 tahun.
Penularan
Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena penyakit ini dan kemudian terhirup oleh orang sehat yg tidak mempunyai kekebalan tubuh, antibiotik dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg mengikuti dan mengurangi kemungkinan memberatnya penyakit ini (sampai pada stadium catarrhal) sesudah stadium catarrhal antibiotik tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang yg kontak dengan penderita, diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi terjadinya penularan pada orang sehat tersebut.
Patogenesis
Setelah menghisap droplet yang terinfeksi, kuman akan berkembang biak di dalam saluran pernafasan. Gejala sakit hampir selalu timbul dalam 10 hari setelah kontak, meskipun masa inkubasi bervariasi antara 5-21 hari. Penyakit ini terbagi dalam 3 stadium.
- Stadium prodromal (kataral) berlangsung selama 1-2 minggu. Selama stadium ini, penderita hanya menunjukkan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas yang ringan seerti bersin, keluarnya cairan dari hidung, batuk dan kadang-kadang konjungtivitis. Pemeriksaan fisik tidak memberikan hasil yang menentukan. Masa ini merupakan masa perkebmangbiakan kuman di dalam epitel pernafasan.
- Stadium kedua biasanya berlangsung selama 1-6 minggu dan ditandai dengan peningkatan batuk paroksismal. Suatu batuk paroksismal yang khas adalah dimana dalam jangka waktu 15-20 detik terjadi 5-20 batuk beruntun biasanya diakhiri dengan keluarnya lender/muntah serta tidak ada kesempatan untuk bernafas diantara batuk-batuk tersebut. Tarikan nafas setelah batuk biasanya menimbulkan bunyi yang keras.
- Stadium ketiga berupa stadium konvalessen. Batuk dapat berlangsung sampai beberapa bulan setelah permulaans akit. Beratnya penyakit bervariasi.
Sindrom respiratorik ringan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis tidak mungkin dikenal atas dasar klinik saja. Kurang lebih 20% infeksi pertusis diperkirakan sebagai penyakit-penyakit atipik dan penderita-penderita ini berbahaya bagi orang lain. Komplikasi yg dapat mengikuti keadaan ini adalah pneumonia, encephalitis, hipertensi pada paru, dan infeksi bakterial yg mengikuti.
Diagnosis laboratorium
Diagnosis yang pasti tergantung pada diasingkannya Bordetella pertussis dari penderita. Hasil isolasi tertinggi diperoleh pada stadium kataral, dan kuman pertusis biasanya tidak dapat ditemukan lagi setelah 4 minggu pertama sakit. Bahan pemeriksaan berupa usapan nasofaring penderita atau dengan menampung batuk secara langsung pada perbenihan. Isolasi Bordetella pertussis dari bahan klinik sangat bergantung pada transportasi dan pengolahan bahan tersbeut.
Bila diperlukan lebih dari 2 jam sebelum bahan tersebut sampai di laboratorium, sebaiknya bahan pemeriksaan tadi ditanam pada perbenihan Stuart (dimodifikasikan). Penambahan penicillin 0,25-0,5 unit/ml di dalam perbenihan kedua adalah berguna untuk menghambat pertumbuhan kuman positif gram saluran pernafasan, tanpa mengurangi pertumbuhan kuman pertusis.
Selain reaksi-reaksi biokimiawi, identifikasi Bordetella pertussis secara serologic akan memastikan isolasi tersebut. Pewarnaan antibody fluoresensi (AF) telah dipakai untuk mengidentifikasi Bordetella pertussis pada preparat langsung hapusan nasofaring dan untuk mengidentifikasi kuman-kuman yang tumbuh pada perbenihan Bordet-gengou. Cara AF ini tidak dapat menggantikan isolasi kuman, namun dapat mengidentifikasi kuman secara lebih cepat.
Pengobatan dan pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan cara mencegah kontak langsung dengan penderita dan dengan imunisasi. Dilakukan vaksinasi aktif pada bayi. Setiap bayi sebaiknya menerima 3 suntikan dari vaksin pertusis selama 1 tahun pertama diikuti serum tambahan sampai jumlah keseluruhan.
Pada saat ini, eritromisin merupakan obat pilihan. Pemberian antibiotika ini akan menyingkirkan kuman-kuman tersebut dari nasofaring dan karenanya dapat mempersingkat masa penularan/penyebaran kuman.
Selain eritromisin, tetrasiklin, kloramfenikol dan ampisilin juga bermanfaat. Cara pencegahan terbaik terhadap pertusis adalah dengan imunisasi dan dengan mencegah kontak langsung dengan penderita. Proteksi bayi terhadap pertusis dengan vaksinasi aktif adalah penting karena komplikasi-komplikasi berat serta morbiditas tertinggi terdapat pada usian ini.
Antibodi yang masuk melalui plasenta tidak cukup memberikan proteksi. Vaksin yang dipergunakan biasanya merupakan kombinasi toksoid difteri dan tetanus dengan vaksin pertusis (vaksin DPT). Imunitas yang diperoleh baik karena infeksi alamiah maupun karena imunisasi aktif, tidak berlangsung untuk seumur hidup.
Jika penyakit berat, penderita biasanya dirawat di rumah sakit. Mereka ditempatkan di dalam kamar yang tenang dan tidak terlalu terang. Keributan bisa merangsang serangan batuk. Bisa pula dilakukan pengisapan lender dari tenggorokan. Pada kondisi yang berat, oksigen diberikan langsung ke paru-paru melalui selang yang dimasukkan ke trakea. Untuk menggantikan cairan yang hilang karena muntah, dan bayi biasanya tidak dapat makan karena batuk, maka diberikan cairan melalui infus. Gizi yang baik sangat penting dan sebaiknya makanan diberikan dalam porsi kecil namun sering.
Prognosis
Sebagian besar penderita mengalami pemulihan total, meskipun berlangsung lambat. Sekitar 1-2% anak yang berusia dibawah 1 tahun meninggal. Kematian terjadi karena berkurangnya oksigen ke otak (ensefalopati anoksia) dan bronkopneumonia.
DAFTAR PUSTAKA
Lay, Bibiana. W, dan Hastowo Sugoyo 1992. MIKROBIOLOGI. Jakarta : CV Rajawali.
Wheller dan Volk. 1990. Mikrobiologi Dasar Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta : P.T. Gelora Aksara Pratama
http://mikrobia.wordpress.com/2008/05/12/bordetella-pertussis-batuk-rejan/
http://www.health.state.ny.us/diseases/communicable/legionellosis/fact_sheet.htm
http://www.cdc.gov/legionella/patient_facts.htm
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/148_16PemeriksaanSpesimenSerumDarah.pdf/148_16PemeriksaanSpesimenSerumDarah.html
http://www,wikipedia.org
Staf pengajar FK UI. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Binarupa Aksara. 1994.
http://www.bmb.leeds.ac.uk/mbiology/ug/ugteach/icu8/introduction/bacteria.html
http://www.who.int/immunization/REH_47_8_pages.pdf
http://emedicine.medscape.com/article/218271-overview
http://www.healthsystem.virginia.edu/UVaHealth/peds_infectious/hii.cfm
Staf pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara: Jakarta
Ryan KJ; Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology. McGraw Hill
Staf pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara: Jakarta
http://www.cdc.gov/ncidod/aip/research/spn.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Corynebacterium_diphtheriae
http://textbookofbacteriology.net/diphtheria_2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar