BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan perdesaan mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional dan daerah. Di dalamnya terkandung unsur pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, termasuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang bermukim di perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Perhatian ke arah pemerataan hasil-hasil pembangunan khususnya untuk masyarakat perdesaan menjadi sangat penting karena beberapa alasan : (1) sebagian besar masyarakat bertempat tinggal di pedesaan; (2) bagian terbesar masyarakat miskin berada di pedesaan, Kemiskinan di perdesaan dapat menimbulkan berbagai kerawanan sosial yang pada akhirnya dapat memicu ketidakstabilan dan menciptakan gangguan terhadap pembangunan itu sendiri.
Data tahun 2006 menunjukkan bahwa 57,3 juta orang atau 60% dari total tenaga kerja nasional berkerja di perdesaan, sebanyak 37,6 juta atau 65,7% diantaranya bekerja pada sektor pertanian (Sakernas 2006). Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa produktivitas perekonomian perdesaan yang bertumpu pada sektor pertanian sangat rendah. Ini tidak saja berkaitan dengan produktivitas pertanian yang makin menurun, tetapi juga berkaitan dengan kebijakan politik yang kurang berpihak pada sektor pertanian, walaupun Indonesia termasuk negara agraris (Hayami & Kikuchi, 1990; Wiradi, 1989; Tjondronegoro, 1993; White, 2000).
Rendahnya produktivitas sektor pertanian dibandingkan dengan sektor-sektor non pertanian seperti sektor industri, jasa, pertambangan, dan sektor lainnya serta adanya kebijakan pembangunan yang bias perkotaan, telah menghasilkan ketimpangan pendapatan antara penduduk di perkotaan dan perdesaan.
Banyak faktor yang membuat ketertinggalan perekonomian perdesaan dibandingkan dengan perkotaan. Secara singkat Evers (1998) mengungkapkan dua sebab : (1) Konteks struktural dan (2) Konteks kultural. Konteks struktural menunjuk pada kebijakan pembangunan (ekonomi & politik) yang lebih mengutamakan pembangunan perkotaan ketimbang perdesaan. Konteks kultural dikaitkan dengan stigma bahwa masyarakat perdesaan itu malas, tertinggal, bodoh, miskin dan karena itulah wajar kalau pendapatan mereka menjadi rendah.
Dalam konteks struktural tersebut, Wiradi (1989) dan Hayami Kikuchi (1990) mengungkapkan bahwa salah satu sebab rendahnya pendapatan penduduk perdesaan adalah karena keterbatasan akses modal, informasi dan teknologi serta yang paling utama adalah akses sarana dan prasarana. Keterbatasan prasarana, terutama transportasi sebagai penunjang utama kegiatan ekonomi, telah menghasilkan kesenjangan dalam standar kehidupan dan kesempatan dalam peningkatan perekonomian antara perdesaan dengan perkotaan. Ini akan berimplikasi pada rendahnya produktivitas ekonomi perdesaan.
Ketimpangan pembangunan khususnya di perdesaan, termasuk di dalamnya pembangunan prasarana dan sarana transportasi di pedesaan, tidak terlepas dari implementasi kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dengan negara sebagai aktor utama. Chamber (1990) menyebutnya sebagai kebijakan pembangunan yang bersifat betting strong policy dengan strategi state centered development. Dalam konteks ini negara menjadi inisiator, pelaksana, sekaligus pengawas dari keseluruhan pembangunan. Melalui aparat birokrasi sebagai kepanjangan tangan pemerintah, hampir semua proses pembangunan baik yang sifatnya fisik maupun non fisik ditentukan, diarahkan dan didorong oleh mereka. Model pembangunan yang top down ini tidak saja telah menciptakan ketergantungan masyarakat kepada negara, lebih dari itu telah mematikan inisiatif dan partisipasi masyarakat. Masyarakat menjadi pasif sekaligus obyek pembangunan. Dalam konteks ini pendekatan development for the people lebih mengedepan ketimbang development of the people.
Sejak tahun 1990-an ketika PBB mencanangkan Dasawarsa Pembangunan II, arah, prinsip, model dan pendekatan pembangunan bergeser menjadi lebih berpihak pada masyarakat. Melalui pendekatan pembangunan yang mengacu pada broad based participatory, pembangunan yang diterapkan lebih menempatkan masyarakat sebagai subjek atau pelaku utama pembangunan. Dengan model people centered development, pelaksanaan pembangunan didorong dengan lebih mendasarkan pada inisiatif dan partisipasi masyarakat.
Pembangunan yang efektif membutuhkan keterlibatan (partisipasi) awal dan nyata di pihak semua pemangku kepentingan {stakeholders) dalam penyusunan rancangan kegiatan yang akan mempengaruhi mereka. Sewaktu masyarakat yang terlibat merasa bahwa partisipasi mereka penting, mutu, efektifitas dan efisiensi pembangunan akan meningkat.
Hasil kajian Brinkerhoff dan Benyamin (2002) di Filipina mengungkapkan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi masyarakat untuk bersedia terlibat dalam pembangunan perdesaan adalah sistem sosial berlaku. Sistem sosial mempengaruhi individu atau masyarakat melalui berbagai insentif dan disinsentif.
Berbeda dengan Brinkerhoff dan Benyamin, hasil studi Narayan (1995) menunjukkan bahwa faktor yang mendorong masyarakat untuk terlibat dalam proyek penyediaan air di beberapa kota di Indonesia adalah faktor kemanfaatan yang diperoleh masyarakat. Mereka bersedia terlibat karena secara nyata akan memperoleh manfaat dari proyek yang akan dibangun.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suharso (2004) dalam studi evaluasi terhadap proyek P2MPD (Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah) di 3 Kabupaten (Sleman, Bantul dan Wonogiri, ketiganya di Propinsi Jateng dan DIY) yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB) dan Program PKPS BBM (Program Kompensasi Pengurangan Subsisi BBM) Infrastruktur Pedesaan yang didanai oleh APBN. Kedua program tersebut berfokus pada pembangunan infrastruktur perdesaan seperti jalan, jembatan, irigasi, dan drainase. Hasil studi evaluasi kedua proyek tersebut menemukan bahwa kesediaan masyarakat untuk terlibat/berpartisipasi dalam bentuk memberikan sumbangan natura dan innatura didorong oleh faktor harapan terhadap manfaat yang akan diperoleh, sistem sosial, status sosial ekonomi masyarakat dan budaya gotong royong.
Berbeda dengan pandangan kedua kajian di atas, Putnam (1993) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan seseorang atau masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan perdesaan, termasuk dalam membangun infrastruktur perdesaan adalah berkaitan dengan situasi saling ketergantungan, kepercayaan, dan jaringan organisasi sosial yang memfasilitasi kerjasama untuk manfaat bersama.
Berbagai kajian yang membahas tentang faktor-faktor yang mendorong masyarakat untuk terlibat atau berpartisipasi dalam pembangunan perdesaan termasuk pembangunan infrastruktur, sebagian besar membahas hal-hal yang mempengaruhi persepsi, motivasi dan kemampuan dalam berkontribusi, baik secara individu maupun kolektif. Namun demikian kajian dari dimensi kewilayahan tidak banyak yang membahas. Kajian umumnya meletakkan secara parsial pada sisi ekonomi, budaya dan kelembagaan yang melekat pada masyarakat sebagai entitas wilayah dan individu sebagai bagian dari masyarakat. Partisipasi digali pada tingkat individu dan masyarakat sebagai subyek, tidak meletakan pada level yang lebih makro yaitu wilayah sebagai wadah untuk melaksanakan kegiatan. Pemikiran secara parsial yang mengedepankan sektor-sektor tertentu atau lebih kepada satu sudut pandang dari latar belakang expertise penelitinya tidak akan menjawab persoalan secara makro yang sesungguhnya lebih rumit dimana satu dan lainnya saling berhubungan. Partisipasi yang ditujukan dalam rangka meningkatkan keberdayaan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melekat pada masyarakat itu sendiri, seperti perekonomian, kebudayaan dan kehidupan sosialnya. Lebih jelasnya, penting untuk melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur desa dilihat dari aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek geografi desa. Dengan diketahuinya hubungan antara partisipasi masyarakat dengan aspek tersebut dapat dijadikan acuan bagi para perencana wilayah dalam implementasi kebijakan kedepan.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam usaha pembangunan infrastruktur perdesaan, pemerintah menghadapi kendala tidak saja dalam masalah pembiayaan tapi juga penolakan dari masyarakat akibat ketidaksesuaian antara infrastruktur yang dibangun dan yang menjadi kebutuhan mereka, maka pelibatan masyarakat merupakan sebuah cara yang efektif. Dengan partisipasi masyarakat tidak hanya akan menjawab kedua permasalahan tersebut, tapi masih banyak lagi keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak. Kendatipun demikian, mengikutsertakan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam program-progam pembangunan tidak semudah apa yang dibayangkan.
Data laporan hasil pelaksanaan yang disusun oleh Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten X terhadap pelaksanaan Program Dana Pembangunan dan Operasional Desa/Kelurahan (DPODK) tahun 2006 bagi pengembangan dan pembangunan infrastruktur perdesaan menunjukkan perbedaan keterlibatan masyarakat pada masing-masing desa. Data tersebut menunjukan adanya variasi bentuk/jenis dan besaran partisipasi pada taraf pelaksanaan program pengembangan dan pembangunan infrastruktur perdesaan di 245 desa dan kelurahan se-Kabupaten X.
Selain kenyataan tersebut, kenyataan lainnya adalah kajian yang membahas tentang determinan partisipasi masyarakat pada pelaksanaan pembangunan infrastruktur desa masih sangat minim. Terlebih lagi di Kabupaten X dimana kajian yang membahas tentang hal tersebut belum pernah dilakukan. Untuk itu sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut tetang faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur di perdesaan. Hasil kajian dapat dijadikan pedoman bagi perencanaan pengembangan infrastruktur perdesaan.
Bertitik tolak dari pemaparan di atas dimana determinan dari partisipasi merupakan sesuatu yang penting untnk diketahui, maka pertanyaan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat hubungan antara aspek ekonomi, sosial budaya dan geografis terhadap partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur perdesaan?
1.3 Tujuan, Sasaran dan Manfaat Studi
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu diketahuinya bentuk, besaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat dalam penyediaan infrastruktur desa. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dalam memenuhi tujuan tersebut adalah :
1. Teridentifikasinya bentuk dan besaran kontribusi masyarakat yang merupakan indikator tingkat partisipasi masyarakat.
2. Teridentifikasinya faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur desa ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya dan geografi.
Adapun yang menjadi harapan dari hasil penelitian ini yaitu dapat memberikan manfaat bagi penajaman aplikasi/implementasi program Dana Operasional dan Pembangunan Desa/Kelurahan Kabupaten X dalam upaya pembangunan infrastruktur perdesaan selanjutnya, serta program-program yang sejenis.
1.4 Ruang Lingkup Kajian
1.4.1 Ruang Lingkup Materi
Pokok bahasan tentang partisipasi masyarakat sangat luas dan kompleks, karena menyangkut subjek, objek dan konteks partisipasi itu sendiri. Dengan mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki oleh penulis, ruang lingkup materi dalam penelitian ini dibatasi dengan hanya membahas hal-hal yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat khususnya dalam taraf implementasi pembangunan infrastruktur transportasi desa.
1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah Studi
Unit wilayah yang akan dikaji yaitu pada 245 desa dan kelurahan se-Kabupaten X, Provinsi X. Pemilihan wilayah studi ini didasarkan pada lokasi berlangsungnya program Dana Operasional dan Pembangunan Desa/Kelurahan, yang merupakan objek yang akan diteliti.
1.5 Relevansi Studi
Partisipasi dalam paradigma perencanaan dapat dilihat sebagai instrumen atau sebagai tujuan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, penelitian dengan pokok bahasan partisipasi masyarakat yang dilaksanakan ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu perencanaan wilayah dan kota, khususnya bidang Sistim Infrastruktur dan Transportasi. Sesuai dengan manfaat studi yang telah diuraikan di atas, diharapkan hasil penelitian ini akan lebih mempertajam aplikasi/implementasi program-program sejenis dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa.
1.6 Metoda penelitian
Faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat merupakan suatu pembahasan yang amat luas. Meskipun dalam kajian ini dibatasi hanya dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur, namun karena unit analisis yang akan diteliti adalah perdesaan di Kabupaten X maka jenis data yang memungkinkan untuk dapat dianalisis adalah data sekunder. Penggunaan data sekunder ini didasari dengan pertimbangan bahwa keluaran yang dihasilkan dari analisis nantinya dapat dipergunakan oleh para praktisi dan penentu kebijakan secara relatif lebih cepat dan murah dibandingkan dengan menggunakan data primer.
Selain itu pula, pembahasan tentang partisipasi tidak dapat dilepaskan dari karakteristik yang menyangkut sosial budaya masyarakat lokal. Sedangkan dibanyak literatur dinyatakan bahwa cara yang terbaik dalam mempelajari fenomena yang terjadi dalam masyarakat yaitu dengan menggunakan analisis kualitatif yang data-datanya bersumber dari masyarakat secara langsung.
Untuk itu, dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan diatas, maka penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Untuk data primer akan dianalisis menggunakan analisis kualitatif dan data sekunder akan dianalisis menggunakan analisis kuantitatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar