adf.ly

Rabu, 09 Maret 2011

MENGKONTROL EMOSI UNTUK MENJAGA KEMAMPUAN BERPRESTASI SECARA OPTIMAL

BAB I
PENDAHULUAN

1.       Latar Belakang Masalah
Ditengah bangsa Indonesia yang sedang bergumul dalam berbagai sektor pembangunan, bidang olahraga juga mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah. Salah satu hasil pembangunan olahraga yang sangat didambakan, baik para atlet dan pembinanya maupun para anggota masyarakat secara luas, adalah terciptalah prestasi puncak para atlet Indonesia. Prestasi puncak addalah kemampuan atlet atau anggota kelompok (tim) untuk menciptakan prestasi maksimal, sehingga dapat lebih banyak berbicara di arena pertandingan olahraga nasional maupun internasional (Drs. Abdul Hamid Tjatjo MP, 1989).
Berbagai kalangan mengemukakan pendapat bahwa untuk peningkatan prestasi olahraga diperlukan perombakan dan perubahan sistem manajement yang selama ini dilaksanakan, antara lain masalah lembaga-lembaga dan kurikulum olahraga di sekolah serta para guru dan pelatih yang memerlukan peningkatan ketrampilan. Demikian pula sistem pembinaan atlet secara langsung seperti metode dan strategi latihan, sarana dan prasarana, masalah gizi dan penerapan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dengan pembinaan ini. Berdasarkan urutan diatas, terlihat betapa luas masalah yang menyangkut usaha peningkatan prestasi tersebut. Tetapi dikemukakan suatu analisis strategi pembinaan olahraga yang masih jarang, yaitu strategi meditasi dalam mencapai prestasi puncak. Peranan masalah-masalah kejiwaan mempunyai pengaruh yang penting malah kadang-kadang menentukan, di dalam usaha orang atau atlet untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Misalnya aspek dan peranan motivasi, aktivasi, frustasi, rasa bimbang ketakutan anxiety (kecemasan), ambisi untuk menang, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Aspek-aspek tersebut perlu kita pelajari dan hayati kalau kita ingin mendidik dan melatih anak manusia (Drs. Harsono Msc, 1988).
Dengan pengetahuan akan aspek-aspek tersebut di atas para pelatih diharapkan akan dapat berhubungan dengan subyek atlet dengan lebih banyaknya pengertian dan memperlakukan mereka secara lebih manusiawi, sehingga kedewasaan jiwa dan matuvitas keolahragaan mereka dapat berkembang lebih baik. Seorang pelatih dalam suatu tim olahraga tersebut, terutama olahragawan-olahragawan pertandingan akan selalu beradda dibawah stress-stress, baik stress fisik maupun stress mental yang disebabkan oleh lawan atau kawan bermain, penonton, pengaruh lingkungan, sarana dan prasarana dan sebagainya, terutama dalam situasi-situasi pertandingan yang menggerakkan pusat-pusat organisme yang mengatur koordinasi akal dan otot (Mid an Body).
Stretegi untuk mempertinggi aktivitas kelompok, seperti percakapan bebas, dapat membantu seorang atlet mencapai tingkat kesiagaan optimal, tetapi dapat menyebabkan atlet lain mengalami kegairahan yang berlebihan. Prosedur aktivitas jangan dilakukan secara sama rata, melainkan bantulah setiap atlet menemukan tingkat kesiagaannya masing-masing. Melatih atlet mencapai keadaan relaksi akan menolong mereka terhindari dari lingkaran anxietas-stress. Atlet harus dilatih relaks dalam beberapa detik dengan relaksasi progresive, latihan togenik atau meditasi transendental. Bagian prosedur relaksasi yang penting adalah pemusatan perhatian pada proses mental yang dianjurkan bagi atlet, yaitu : mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan atau menggunakan mantra, kata-kata kunci atau kalimat. Kedua mengalihkan perhatian dengan memusatkan pikiran pada kata-kata sandi tadi. Atlet yang mempunyai ketrampilan untuk menentukan tujuan yang baik, akan lebih berhasil daripada atlet yang tidak mempunyai ketrampilan itu. Ketrampilan untuk menentukan tujuan harus menjadi bagian integral perkembangan ketrampilan psikologis atlet. Kadang-adakang dalam keadaan kurang siaga diperlukan strategi penguatan Psikis. Percakapan bebas, papan komunikasi, berita dan dukungan penggemar merupakan strategi yang berguna untuk menyiapkan atlet menghadapi pertandingan penting. Cara ini tidak boleh dipakai secara berlebihan atau disamaratakan oleh stlet. Latihan mengatasi stress dengan program seperti VMBR, SIT dan SMT sangat efektif untuk mencapai respons relaksasi. Atlet yang tertekan karena kompetisi dan mendapat keuntungan dari salah satu program ini. Apakah penampilan akan meningkat tergantung tercapai atau tidaknya tingkat kesiagaan dan kegairahan yang optimal. Penggunaan program secara merata untuk semua atlet tidak dibenarkan.


2.       Rumusan Masalah
Stress Kecemasan dan Frustasi
1.      Gejala emosional “stress”
2.      Stress dan pertandingan
3.      Pengaruh pelatihan pada kepribadian atlet
4.      Stress, kegelisahan dan kebangkitan
5.      Memahami patah semangat
Mencegah dan Mengatasi Patah Semangat
1.      Memegang teguh pandangan yang benar
2.      Lingkungan baru
3.      Menggunakan asisten pelatih
4.      Dukungan keluarga
5.      Banggalah pada dirimu sendiri


BAB II
PEMBAHASAN

Stress, Kecemasan dan Frustasi

Teori kesatuan psiko fissik atau teori psiko fisik totalitas berkembang karena para ahli menyadari bahwa orang yang keadaan kejiwaannya mengalami gangguan, karena rasa susah, gelisah, atau ragu-ragu menghadapi sesuatu, ternyata mempengaruhi kondisi fisiknya. Akibat rasa susah dan gelisah menghadapi masa depan, seseorang kurang dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya mempengaruhi tingkah laku dan penampilannya. Sebaliknya keadaan fisik yang kurang sehat, karena sedang sakit, sesudah mengalami kecelakaan dan cidera, juga dapat mempengaruhi kejiwaan individu yang bersangkutan : kurang dapat memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi, kurang dapat berpikir dengan tenang, kurang dapat berfikir dengan cepat, dan sebagainya. Perasaan atau emosi dapat memberi pengaruh-pengaruh fisiologik seperrti : Ketegangan otot, denyut jantung, peredaran darah, pernapasan berfungsinya kelenjar-kelenjar hormon tertentu.
Sehubungan itu semua, maka jelaslah bahwa gejala psikik akan mempengaruhi penampilan dan prestasi atlet. Dalam hubungan itu pengaruh gangguan emosional perlu diperhatikan, karena gangguan emosional dapat mempengaruhi “Psichological Stability” atau keseimbangan Psikik secara keseluruhan, dan ini berakibat besar terhadap pencapaian prestasi atlet. Dalam melakukan kegiatan olah raga lebih-lebih untuk mencapai prestasi yang tinggi, diperlukan fungsinya aspek-aspek kejiwaan tertentu; misalnya untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam cabang olah raga yang dimiliki oleh atlet harus dapat memusatkan perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang dapat berkonsentrasi penuh meski ada gangguan atau suara dan lainnya.
1.      Gejala emosional “stress”
Seperti halnya pada otot-otot kita mengalami ketegangan, karena melakukan pekerjaan fisik, maka kitapun mengalami ketegangan psikik yang disebut “stress”. Menurut Gauron (1984) stress seperti halnya ketegangan otot tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita tidak dapat menghindarkan ketegangan psikik atau stress, beberapa ketegangan diperlukan dan beberapa ketegangan tidak diperlukan dalam penampilan dan melakukan tugas. Untuk dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu dibutuhkan adanya ketegangan atau “Lack of Tension” akan berakibat kita tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik. Untuk dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu dibutuhkan adanya ketegangan otot-otot dimana ketegangan tersebut sangat diperlukan kemanfaatannya.
Setiap atlet bertanding dalam suatu peristiwa olahraga merasakan adanya peningkatan ketegangan emosional untuk mengantisipasi situasi pertandingan yang dihadapi. Singer (1986) mengemukakan bahwa aktivitas penuh ketegangan tidak selalu jelak bagi seorang atlet. Ditinjau dari macam reaksi mental dan emosional, Singar menunjukkan dan gejala yang berhubungan dengan emosi yaitu : tidak adanya kesiapan dan penuh kesiapan. Tidak adanya kesiapan atau “Under Readiness” ada hubungan dengan kurangnya otivasi, sedangkan “over readiness” atau penuh kesiapan berhubungan dengan kesiapan untuk menang ataupun penampilan buruk, ketakutan akan kalah dan sebagainya.
Stress atau ketegangan Psikik bentuknya dapat beraneka macam menurut Gauron (1984) stress menunjukkan gejala tidak sama terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi, untuk dapat melakukan adaptasi. Menghadapi stress, badan manusia mengadakan reaksi dengan cara-cara atau bentuk yang konsisten ada pengarahan atau “arausal” system syaraf otonom tertentu. Jadi gejala stress menurut Gauron tersebut dapat lebih bervariasi dibanding “tension” atau ketegangan fisik yang dialami seseorang.

2.      Stress dan Pertandingan
Menurut Scanlan (1984) dalam tulisannya yang berjudul : “Competitive Stress and The Child Athlete” yang dimuat dalam buku “Psychological Foundations of Sport” mengemukakan bahwa “Competitive Stress atau Stress” timbul dalam pertandingan merupakan reaksi emosional yang negatif pada anak apabila rasa harga dirinya merasa terancam. Hal seperti ini terjadi apabila atlet junior menganggap pertandingan sebagai tantangan yang berat untuk dapat sukses, mengingat kemampuan penampilannya, dan dalam keadaan seperti ini atlet lebih memikirkan akibat dari kekalahannya.
Stress selalu terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan, sehingga kemungkinan tidak tercapainya tersebut menghantui pikirannya. Stress adalah suatu ketegangan emosional yang akhirnya berpengaruh terhadap proses-proses psikologik maupun proses fisiologi.
Spielberger (1986) dalam tulisannya mengenai “Stress and Enxiety in Sport” dalam kumpulan ilmiah yang dihimpun oleh Morgan berjudul “Sport Psycology” (1986) menegaskan bahwa stress menunjukkan “Psychobiological Prosess” yang komplek, dan proses ini pada umumnya terjadi dalam situasi yang mengandung hal yang dapat merugikan berbahaya, atau dapat menimbulkan irustasi (stressor). Stressor menunjukkan situasi-situasi atau stimuli yang secara obyektif ditandai dengan adanya tekanan fisik ataupun Psikologik atau bahaya dalam kehidupan sehari-hari dalam tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan manusia. Reaksi yang berbeda-beda akan muncul dalam menghadapi “Stressor” tergantung pada situasi tertentu yang diperkirakan menimbulkan ancaman. Ancaman juga berkaitan dengan persepsi dan penilaian individu terhadap situasi yang dihadapi sebagai hal yang dapat merugikan dan mengandung bahaya. Dalam hubungannya dengan olahraga, khususnya kemungkinan terjadinya stress menghadapi pertandingan, maka permasalahannya sangat banyak tergantung pada diri atlet yang bersangkutan. Pelatih-pelatih dan banyak peneliti olahraga pada umumnya sepakat adanya pengaruh dari penonton, baik penonton tamu maupun suporter, terhadap kesehatan mental atlet. Suatu kondisi mental yang sering kali nampak bila manusia berfikir dan bertindak bersama-sama dalam suatu kumpulan orang banyak atau gerombolan, meskipun mereka satu sama lain belum saling mengenal sebelumnya. Pengaruh penonton yang nampak terhadap pemain pada umumnya berupa menurunnya keadaan mental kebawah normal. Pengaruh tersebut kadang-kadang demikian dahsyatnya sehingga pemain seakan-akan ia tidak boleh mengenal dirinya sendiri atau memiliki dirinya sendiri. Penontonlah yang seakan-akan menggariskan dia apa yang harus dilakukannya bagaimana ia harus bermain sehingga menurunkan keasliannya serta keberaniannya dan dia lalu terpaksa memanjakan dirinya sendiri dengan kebaikan-kebaikan yang palsu, yaitu mengabulkan permintaan-permintaan penonton, meskipun ia mengetahui bahwa sebenarnya tindakan itu salah.

3.      Pengaruh Pelatihan Pada Kepribadian Atlet
Dalam uraian-uraian diatas telah dibicarakan secara luas masalah anxiety dan pengaruh-pengaruhnya terhadap usaha serta prestasi atlet. Akan tetapi hanya mengetahui “The What” saja mengapa atlet takut tanpa mengetahui “The How” atau bagaimana cara penyembuhannya tidaklah banyak manfaatnya. Dengan pengetahuan mengenai cara penyembuhannya. Kita seringkali dapat menyusun teori-teori dan strategi, serta menciptakan situasi guna menolong atlet menghilangkan atau sekurang-kurangnya merendahkan anxiet. Hal ini bukanlah berarti bahwa pelatih dapat bertindak sebagai seorang Psikiater atau Psikolog. Akan tetapi dia harus dapat mengenal (recognize) isyarat-isyarat atau pertanda-pertanda takut yang berlebihan pada atlet untuk kemudian menyaringnya, mana yang kira-kira berada dalam kemampuannya untuk ditangani ddan mana bidang garapan Psikiatris atau Psikolog. Arousal dan anxiety akan selalu ada dan tidak mungkin dihindari dalam setiap pertandingan. Tantangan bagi pelatih adalah, bagaimana menolong atlet untuk mengenal (recognize) arousal dan respon-respon anxiety, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap situasi-situasi yang dihadapi, terutama situasi-situasi yang kurang enak dan kurang menggembirakan baginya. Kemampuan untuk menyetel dan mengatur tingkat anxiety dan tingkat aktivitas sebelum dan selama pertandingan merupakan skill yang sangat penting guna memperoleh prestasi yang setinggi-tingginya oleh karena itu seorang pelatih harus jeli dan pandai-pandai memperkirakan tingkat aktivasi yang bagaimana yang paling cocok bagi setiap atletnya agar mereka dapat tampil sebaik mungkin dan prestasi seoptimal mungkin. Susahnya memang, tidak ada satu-satunya cara yang terbaik dalam mengggugah emosi mereka sebelum pertandingan. Dan belum tentu metode-metode inovatif dan kreatif yang ternyata berhasil dan afaktif dalam situasi tertentu akan juga efektif dalam situasi lain, sekalipun diterapkan oleh pelatih yang sama.
Selama masa latihan dan pertandingan, hubungan pelatih dan atlet banyak membawa pengalaman bersama yang memberi efek terhadap kepribadian atlet. Efek ini bisa bersifat posituf atau negatif. Hubungan antara pelatih dan atlet biasanya lebih luas dan kuat. Sebagian besar waktu dan energi dicurahkan untuk berpartisipasi dalam olahraga. Semakin dekat hubungan antara pelatih dan atlet, semakin kemungkinan seorang atlet meniru sebagian kepribadian pelatih.
Selanjutnya pengertian dari pelatih dapat membentuk atlet yang mengalami konflik. Konflik atlet antara keinginan dan mencapai tujuan, konflik tentang perasaan menghadapi kompetisi dan konflik antara pribadi dan kepentingan regu kadang-kadang dapat diselesaikan dengan cara yang baik atas bantuan pelatih. Jadi pelatih adalah semacam pemberi bimbingan dan nasehat.ahli psikologi yang bekerja untuk suatu regu mendapati bahwa dalam regu yang berhasil, pelatih dan pemain biasanya mempunyai data kepribadian yang hampir sama.

4.      Stress, Kegelisahan dan Kebangkitan
Tiga istilah yang paling komplek dan memusingkan dalam psikologi olahraga adalah stress, kecemasan, dan kebangkitan. Sudah sangat sering istilah-istilah tersebut digunakan seolah-olah semua bermakna sama. Tetapi tidak pada kenyataannya mereka bahkan tidak mungkin muncul secara bersamaan. Dalam beberapa situasi pertandingan, baik kegelisahan maupun kebangkitan yang meningkat (perubahan psikologis) tanpa adanya kegelisahan (kecemasan Psikologis seperti khawatir atau takut). Tetapi apabila kegelisahan dipengaruhi, maka kebangkitan akan ditingkatkan juga. Untuk tujuan kami, stress akan diberi arti sebagai suatu situasi yang potensial dalam menimbulkan kegelisahan dan kebangkitan. Apalagi perubahan-perubahan ini tidak terjadi dalam tanggapan yang menuju pada kenyataan atau situasi tersebut tidaklah penuh dengan tekanan. Harus diakui bahwa situasi yang menyebabkan suatu tanggapan tekanan dalam diri seorang olahragawan tidak selamanya menimbulkan tanggapan respon tekanan pada anggota tim lainnya. Ini berarti bahwa setiap olahragawan akan menanggapi stress secara berbeda dan oleh sebab itu mereka harus dibimbing secara perorangan. Untuk memahami hal ini pelatih harus menyadari betapa pentingnya bermain dengan proses kognitif. Penafsiran olahragawan tentang keadaanlah yang mempengaruhi bagaimana reaksi mereka terhadap hal ini, secara kejiwaan maupun secara fisiologis. Jadi persepsi olahragawan tentang keadaan adalah faktor penting yang menentukan tingkah lakunya.
Banyak tuntutan atlet dan sifat persaingan olahraga dapat menyebabkan atlet menghadapi stress yang terus menerus dalam hidupnya. Pada umumnya, apabila stress dapat dikendalikan dengan baik, maka ia dapat berfungsi sebagai rangsangan yang menggairahkan bagi atlet, ia menjadi daya tarik bagi mereka untuk berlatih dan membangkitkan semangat kerja mereka. Tetapi jika stress terjadi secara berlebihan dan berlangsung lama, ia dapat merusak keberhasilan dan kebahagiaan atlet.
Stress dapat mengarah pada fenomena yang dewasa ini disebut “Patah Semangat”. Apabila atlet mengalami patah semangat, mereka seringkali sangsi kemampuan mereka untuk melatih atlet secara efektif. Selanjutnya kemampuan pelatih olahragawan mungkin juga diragukan. Pelatih mungkin meyakini bahwa pimpinan olahragawan dan sekolah atau organisasi merupakan sumber kegagalan. Dengan demikian, atlet yang mengalami padam semangat menganggap bahwa atlet tidak memungkinkan.

5.      Memahami Patah Semangat
Atlet yang mengalami patah semangat menemukan bahwa mereka lebih mudah lelah dan tidak memiliki lagi tenaga yang pernah mereka miliki. Mereka sering merasa tak berdaya, mudah marah dan kurang kendali atas lingkungannya. Atlet yang sudah patah semangat akan kehilangan kesabarran dan kemungkinan besar menjadi frustasi. Lemahnya atlet tersebut menjadi berfikiran tertutup dan jadi tidak luwes. Banyaknya waktu yang dihabiskan dalam tugas untuk berlatih mungkin meningkat, namun lebih sedikit yang terselesaikan. Akhirnya atlet yang patah semangat menjadi tidak sehat, terlalu lelah dan merasa tertekan. Merka sering mengalami sakit kepala atau penyakit fisik dan lainnya. Kegagalan yang pernah dianggap berasal dari kelemahan yang dapat diperbaiki, dipandang sebagaai rintangan yang mustahil diatasi. Pada mulanya pelatih semacam itu menyalahkan kegagalan pada kualitas olahragawannya atau lawan tandingnya. Namun akhirnya atlet tersebut menginternalisasikan kegagalan tersebut dan menyalahkan dirinya sendiri. Jelasnya, kita harus melakukan sesuatu untuk menghindarkan atlet mengalami krisis semacam ini.

Mencegah dan Mengatasi Patah Semangat

Patah semangat harus dicegah apabila orang menginginkan kebahagiaan dan keberhasilan. Pengertian ini kemudian harus diikuti dengan kesadaran diri tentang nilai-nilai perorangan dan menafsirkan pengalaman pribadi mereka dalam latihan. Menginsyafi tingginya tuntutan pribadi untuk berhasil., disertai kuatnya perhatian dan tanggungjawab pada olahragawan harus dianggap sebagai gejala utama timbulnya patah semangat pada atlet. Dengan kesadaran diri atlet dapat mulai menggunakan kekuatan-kekuataan ini untuk keberhasilan mereka tanpa mengabaikan pemenuhan kebutuhan dan perilaku mereka.. memperolah keseimbangan yang sehat diantara sesama atlet, pengurus keluarga dan kebutuhan pribadi adalah suatu langkah pokok guna mengatasi patah semangat.
1.       Memegang Teguh Pandangan Yang Benar
Mempertahankan suatu pandangan yang benar banyak sekali manfaatnya. Apabila atlet menderita stress berat, ia cenderung memikirkan tuntutan waktu, tenaga yang dihabiskan, masalah olahragawan, keluhan dari orang tua serta kejengkelan pada pengurus. Tetapi apabila ia mampu dengan sadar memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi pada banyak karier lainnya, maka ia akan dapat mengambil manfaat darinya.

2.       Lingkungan Baru
Pendekatan lain untuk mengatasi patah semangat yaitu mencari kerja baru. Untuk tujuan itu olahragawan haarus hati-hati mengenali kelebihan dan kekurangan jabatan baru. Mereka harus yakin bahwa mereka akan lebih senang, dan bukannya kurang senang disamping itu, kadang-kadang sebuah lingkungan baru akan banyak manfaatnya.

3.       Menggunakan Asisten Pelatih
Banyak pelatih yang berhasil mengatasi dan mencegah patah semangat dengan menggunakan asisten-asisten pelatih berkualitas bakatnya yang bermacam-macam. Jadi asisten pelatih dapat mengisi peran yang tidak terisi oleh pelatih utama.pelatih yang hemat menyadari bahwa asisten pelatih muda dapat mudah berhubungan dengan olahragawan. Mereka mempunyai kelebihan asisten untuk menjaga hubungan antar pribadi dan informasi umpan balik yang perlu diketahui oleh pelatih kepala. Namun pelatih yang baik juga mengenali bahwa asisten pada peran ini secara potensial kepala. Namun pelatih yang baik juga mengenali bahwa asisten pada peran ini secara potensial dapat menimbulkan masalah. Jadi mereka mengantisipasi bahwa olahragawan akan mengatakan kepada asisten bahwa merekalah seharusnya manjadi pelatih kepala. Pelatih kepala memberikan asistennya untuk memberikan umpan balik dari mereka serta menekankan pentingnya selalu mendukung atlet lain dengan sikap antusias.

4.       Dukungan Keluarga
Banyaknya pelatih dapat melepaskan diri dari stress atlet yang terus menerus  melalui dukungan tak terbatas dari orang tua, kelurga dan teman-teman akrab. Seringkali orang tua ikut serta dalam olahraga untuk menghindari kesepian yang terus menerus. Kadang-kadang orang tua atau pacar berfungsi sebagai fotografer olahraga, pencatat nilai atau kepala hubungan masyarakat. Interaksi yang sangat akrab dengan anggota tim dapat menarik perhatian orang tua, sehingga ia dapat bertukar pikiran tentang masalah yang menjadi perhatian pelatih. Seorang atlet seringkali mendapat dukungan yang sangat besar dari keluarganya. Sebuah keluarga yang siap mendengarkan dan membahas masalah yang dihadapi olah anaknya sebagai atlet dapat secara aktif melawan tekanan dan menerima keadaan dirinya. Meskipun terus menerus berjuang untuk kemajuan dirinya mereka bangga apa yang mereka perankan dalam tiap pertandingan. Tuntutan ego seorang atlet yang berbahagia akan keadaan diirinya memberikan pengaruh yang positif dan tidak menimbulkan pengaruh positif.

5.       Banggalah Pada Dirimu Sendiri
Atlet yang bangga pada dirinya sendiri tidak akan mencoba manjadi orang lain.apabila olahragawan menanyakan strategi melatihnya mereka tidak marah atau menghardik untuk mempertahankan dan melindungi diri sendiri, bahkan mereka dengan yakin dan jelas menerangkan dan mempertahankan latihannya. Mereka memberikan tenaga untuk menguasai pelaksanaaan strateginya, dan yakin bahwa pelaksanaan itu akan membawa keberhasilan. Atlet yang merasa senang dengan keadaan dirinya adalah orang yang bahagia dan menyenangkan orang lain, dan orang tua bersama masyarakat. Hasilnya, para pemain biasanya mempunyai motivasi tinggi. Mereka senang bermain dengan pelatih yang penuh percaya diri. Olahragawan yang bermain dengan pelatih tersebut seringkali mencontoh pelatihnya dan menjadi bahagia serta senang keadaan dirinya yang sebenarnya. Olahragawan seperti itu jauh lebih mudah dan lebih menyenangkan untuk dilatih.


BAB III
KESIMPULAN

Stress merupakan pengaruh terbesar dalam penampilan olahraga. Dengan demikian pelatih harus mengerti perbedaan dan interaksi antara stress, kecemasan dan kegairahan. Pertimbangan khusus harus diberikan pada model kecemasan interaksional dan peran penting yang dimainkan dengan persepsi dalam menamakan dan menjawab peristiwa-peristiwa dalam lingkungan olahraga. Sindrom adaptasi umum dari Seleye menguraikan reaksi-reaksi khas terhadap stress.
Kegairahan dan kecemasan bisa sangat mempengaruhi perhatian atlet. Kesadaran diri dari gaya perhatian perorangan dan fleksibelitas perhatian adalah ciri-ciri yang perlu dikembangkan. Ada banyak sumber stress yang dihadapi atlet. Ini meliputi diri sendiri, pertandingan, pelatih, dan faktor penyebab lainnya. Stress merupakan gejala yang berubah-ubah pada saat atlet beranjak dari penampilan tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Berada dipuncak menjadi beban seperti halnya perjuangan yang dihadapi oleh atlet yang berkemampuan rata-rata.
Akhirnya, tekanan yang disebabkan olah harapan-harapan keinginan untuk menciptakan rekor dan keinginan bertanding didepan pengagum sangat berperan dalam menimbulkan stress. Pelatih harus menyadari dan peka akan kebutuhan olahragawan bila mereka ingin berusaha untuk menanggulangi sumber stress ini.
Keluarga atlet yang mempunyai pengaruh sangat besar. Orang tua secara langsung mengarahkan minat, perhatian dan harga diri anak-anak. Pengetahuan saudara kandung dan gaya orang tua dapat membantu pelatih dalam menentukan latihan kepada atlet.
Mental strength training merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan mental atlet, yang mengandung kesanggupan untuk mengembangkan kemampuan dalam keadaan bagaimanapun juga, menghadapi hambatan dari dalam diri sendiri.
Cakrawala baru dalam perkembangan psikologi olahraga dewasa ini menekankan arti pentingnya “Psicological Training” atau “mental training” untuk meningkatkan prestasi atlet, disamping itu mental training juga perlu untuk dapat mempertahankan prestasi dalam keadaan bagaimanapun juga, dalam menghadapi situasi-situasi pertandingan penuh ketegangan. Setiap aatlet selalu akaan menghadapi situasi psikologis “harapan untuk sukses” dan “ketakutan akan gagal” yang dihadapi atlet dapat diperkecil dan akibat-akibat negatif yang timbul juga diharapkan dapat lebih mudah diatasi.


DAFTAR PUSTAKA

Harsono, 1988, Coaching dan Aspek-aspek Psikologis Dalam Coaching.
Date, Rotella, Mc Clenagham, 1993
Singgih D. Gunarrsa dkk, 1989, Psikologi Olahraga
Sudibyo Setyobroto, 1989, Psikologi Olahraga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar